Senin, 08 Agustus 2016

ANKERSMITH : REFLEKSI TENTANG SEJARAH



Pendapat Modern Tentang Filsafat Sejarah
(Sebuah Makalah)
BAB I
PENDAHULUAN

1.1.  Latar Belakang
F.R. Ankersmit merupakan seorang penulis buku “Refleksi Tentang Sejarah (Pendapat-pendapat Modern Tentang Filsafat Sejarah)”, dan Filsafat sejarah itu sendiri menurutnya adalah suatu bagian dari filsafat yang memiliki keterkaitan dengan perenungan, bersifat spekulatif guna menjawab beberapa masalah dalam suatu proses sejarah. Filsafat sejarah menurutnya terdiri atas tiga unsur yang memang saling berhubungan namun masing-masing berdasarkan permasalahannya sendiri. Unsur-unsur tersebut antara lain unsur deskriptif, spekulatif dan kritis.

 
Menurut Ankersmit teori sejarah dengan filsafat sejarah tidak ada batasan kajian dalam pengkajiannya. Filsafat sejarah sangat terkait dengan teori sejarah dalam kata lain filsafat sejarah mempelajari teori-teori sejarah. Ankersmit mengemukakan agar istilah teori sejarah dijadikan dalam satu istilah yaitu filsafat sejarah. Maka menurut Ankersmit teori sejarah merupakan isi konsep-konsep dan teori-teori sejarah yang dikaji dalam filsafat sejarah.
Pendapat Ankersmit merupakan suatu kajian terhadap suatu pengetahuan yang mendalam. Dimana dalam suatu kajian studi, ilmu pengetahuan selalu berpijak atau berasal ketika seorang melakukan filsafat atau keadaan merenung terhadap hal hal yang baru.
Filsafat sejarah spekulatif menurut Ankersmit merupakan perenungan filsafat mengenai tabiat-tabiat atau sifat-sifat proses sejarah. Tiga hal yang manjadi pusat perhatian filsafat sejarah spekulatif yaitu pola dalam proses sejarah, motor penggerak sejarah, dan tujuan peristiwa sejarah. Filsafat sejarah spekulatif yang lebih dekat dengan metafisis, penuh ketidakpastian ini memunculkan kritis oleh para ahli sejarawan. Apabila sejarah bersifat metafisis bagaimana cara kita untuk dapat mempercayai dan membuktikan kebenaran sejarah yang diterangkan. Filsafat sejarah kritis merupakan sikap kritis dan skeptis atas peristiwa sejarah, konsep-konsep sejarah, teori-teori sejarah, dan penulisan sejarah yang penuh subyektivitas. yang harus kita utamakan untuk menjalankan dalam perkuliahan yaitu filsafat sejarah kritis. Dengan bersikap kritis dan berfikir logika terhadap suatu peritiwa sejarah maka kita akan lebih menganalisis data data tentang peristiwa sejarah apakah benar atau salah suatu data sejarah ataupun peristiwa sejarah yang terjadi. Peristiwa sejarah bukan hanya diambil dari garis besar kejadian sejarah,melainkan harus dianalisa dan dikritisasi kebenarannya. Keuntungan lain dengan kita lebih mempelajari filsafat sejarah kritis kita juga dapat lebih mengoptimalkan kemampuan kita dalam menganalisa suatu kejadian dan membentuk suatu bidang studi yang berdasarkan dasar dasar dan metode sejarah yang benar dan bisa masuk akal dengan kenyatan yang ada,dijalankan dengan sesuai yang ada.
1.2.  Tujuan
Tujuan pembuatan makalah ini adalah sebagai berikut;
1.      Untuk mengetahui  kebenaran system spekulatif tidak dapat dipastikan
2.      Untuk mengetahui  sifat Metafisis dalam system spekulatif
3.      Untuk mengetahui  alasan system spekulatif dikatakan tidak ilmiah
4.      Untuk mengetahui  Hukum Evolusi bagi proses sejarah
5.      Untuk mengetahui  dinamika social sebagai system spekulatif
6.      Untuk mengetahui  arah perkembangan system spekulatif
7.      Untuk mengetahui  hukum gerak atau system urutan
8.      Untuk mengetahui  wibawa system spekulatif ditegakkan kembali
1.3.  Rumusan Masalah
Rumusan masalah yang akan disampaikan dalam makalah ini adalah sebagai berikut:
1.      Mengapa kebenaran system spekulatif tidak dapat dipastikan ?
2.      Bagaimana sifat Metafisis dalam system spekulatif ?
3.      Apakah system spekulatif dikatakan tidak ilmiah ?
4.      Bagaimana Hukum Evolusi bagi proses sejarah ?
5.      Bagaimana dinamika social sebagai system spekulatif?
6.      Bagaimana arah perkembangan system spekulatif?
7.      Apakah hukum gerak atau system urutan itu?
8.      Bagaimana wibawa system spekulatif ditegakkan kembali?








BAB II
PEMBAHASAN
Kritik Terhadap Sistem-Sistem Spekulatif

A.    Rangkuman

2.1.   Kebenaran Sistem Spekulatif Tidak Dapat Dipastikan

Filsafat sejarah spekulatif selalu dibedakan dari pengkajian sejarah "biasa". Kiranya sudah cukup gamblang bahwa kita berurusan dengan dua bidang yang berbeda-beda. Para filsuf sejarah dan para ahli sejarah selalu sadar, bahwa ada sebuah jurang yang memisahakan mereka, satu dari yang lain. Para ahli sejarah  mempersalahkan para filsuf sejarah, bahwa mereka meremehkan detail-detail sejarah serta tidak mampu menghadapi masa silam tanpa prasangka. Sebaliknya, para filsuf sejarah mempersalahkan para ahli sejarah, bahwa mereka hanya mengumpulkan dan melaporkan sejumlah data dalam sejarah, lepas yang satu dari yang lain dan tidak berhasil menyusun sebuah sintesis. Hegel mempersalahkan Niebuhr, seorang ahli sejarah Romawi, bahwa dia hanya merangkaikan sejumlah tulisan yang tidak menghiraukan unsur kesatuan di dalam proses sejarah. Menurut para filsuf sejarah, baru filsafat sejarah spekulatif menyajikan kerangka-kerangka yang membuka kemungkinan untuk menafsirkan fakta-fakta sejarah, berkat kerangka –kerangka itu kita juga dapat menentukan, fakta mana yang pantas diperhatikan dan mana yang tidak. Para filsuf sejarah spekulatif suka membuat perumpamaan sebagai berikut: ada ahli-ahli astronomi yang hanya sibuk mengamati dengan teliti apa yang terjadi dalam peredaran bintang-bintang, seperti. misalnya Tycho Brahe, sedangkan ada ahi-ahli perbintangan atau ilmu alam seperti Newton yang mengembangkan teori-teori yang berani serta luas jangkauannya guna menafsirkan hasil observasi. Menurut filsuf-filsuf itu, filsafat sejarah mampu menyajikan penafsiran teoretis bagi berbagai data historis yang dengan susah payah telah dikumpulkan oleh para pengkaji sejarah. Seorang pengkaji sejarah menyerupai seekor semut yang mengangkut butir-butir gula, tetapi filsafat sejarah dapat melihat selayang pandang, dari mana gula itu berasal dan ke mana itu diangkut. Tentu saja, perumpamaan ini tidak menyenangkan hati para penulis sejarah dan para pengkaji sejarah. Baiklah kita bertanya, apakah pretensi filsafat sejarah tidak terlalu sombong. Secara umum, karakterisasi pekerjaan seorang ahli sejarah jelas tidak benar. Para ahli sejarah tidak puas dengan hanya menentukan apa yang terjadi pada masa silam, mereka sungguh berusaha mengintegrasikan serta menafsirkan fakta-fakta itu. Apalagi, cara mereka menafsirkan dan mengintegrasikan fakta itu lebih meyakinkan, daripada cara kerja para filsuf sejarah. Tak pernah dikembangkan suatu filsafat sejarah yang dapat mencapai taraf yang demikian meyakinkan, seperti yang telah dilakukan oleh para teoretisi ilmu alam atau ilmu perbintangan. Secara khusus, perbedaan- perbedaan pendapat antara sistem-sistem spekulatif lebih hakiki, daripada perbedaan pendapat dalam bidang pengkajian sejarah, ilmu perbintangan dan ilmu alam teoretis. Perbedaan pendapat antara para ahli astronomi atau ilmu alam, pada prinsipnya, selalu dapat dipecahkan dan di dalam praktek juga sering tercapai, tetapi dalam filsafat sejarah tidak terdapat kriteria yang membuka kemungkinan menerima atau rnenolak salah satu system spekulatif.
Di siniah kita sampai pada jantung permasalahan. Sebuah sistem spekulatif tidak begitu saja dapat divonis benar atau tidak benar, sah atau tidak sah, seperti dapat kita lakukan terhadap penafsiran-penafsiran sejarah atau teori-teori ilmu alam (dengan catatan bahwa di sini pun kita harus berhati-hati). Masalahnya, kita tidak mampu dan harus angkat tangan, bila kita harus menyatakan, apakah sebuah sistem spekulatif benar atau tidak benar, sah atau tidak sah. Berkenaan dengan salah satu sistem spekulatif, selalu dapat diajukan alasan-alasan pro dan kontra. Kita selalu dihadapkan dengan unsur kesewenang-wenangan, dengan unsur yang tak dapat ditentukan. Berkenaan dengan penafsiran-penafsiran sejarah atau teori-teori dalam ilmu alam, unsur tak menentu itu tak pernah muncul atau sekurang-kurangnya tidak demikian. Ingat, misalnya, akan sistern Hegel. Bila kita memperhatikan perkembangan ilmu-ilmu eksakta selama abad-abad yang lampau, maka kita tertarik untuk membenarkan kepercayaan Hegel terhadap keunggulan Budi dalam proses sejarah. Tetapi, bila kita mernperhatikan sistem-sistem totaliter yang timbul serta penajaman dalam sikap-sikap politis, maka kita mulai menjadi sangsi terhadap kepercayaan Hegel akan kemenangan Budi dalam proses historis. Kita, lalu kita lebih condong terhadap spekulasi pesimis ala Spengler dan Toynbee.  Akan tetapi, kita juga tidak bersedia berpindah dari masa kini ke masa silam. Sungguh menakjubkan, betapa kita telah menakiukkan alam guna mengabdi kepada manusia, bagaimana kita dapat mengatasi penyakit-penyakit, bagaimana di dunia Barat kesejahteraan umum dijamin bagi setiap warga negara. Apa yang telah tercapai di dunia Barat, di masa depan dapat juga dilaksanakan di Dunia Ketiga. Bukankah nasib bangsa-bangsa di bumi ini makin kait-mengait? Pertimbangan ini mengurangi kepercayaan kita, akan spekulasi-spekulasi seorang Spengler atau Toynbee. Dasar filsafat mereka, justru, bahwa sejarah umat manusia tidak bersatu, melainkan terdiri atas lingkaran- lingkaran peradaban yang masing-masing ada riwayatnya sendiri-sendiri. Tetapi, justru, abad kita ini memperlihatkan bagaimana peradaban-peradaban dapat saling menembus, dapat saling mempengaruhi, sehingga tidak boleh dipandang sebagai dunia-dunia yang masing-masing terkurung dalam dirinya sendiri. Catatan seperti dibuat di atas tadi. berlaku bagi semua sistem spekulatif, ada pro tetapi ada juga kontranya.

2.2  Sifat Metafisis dalam Sistem-Sistem Spekulatif

Karena alasan-alasan tersebut di atas sering dikatakan, bahwa filsafat sejarah bersifat "metafisis", oleh karena itu harus ditolak (perhatikan, tidak ditolak karena tidak benar, melainkan karena kebenarannya tidak dapat dipastikan). Apa arti kritik ini? Adapun metafisika adalah cabang filsafat yang menjawab pertanyaan mengenai hakikat atau esensi (hal-hal dalam) kenyataan. Demikian, misalnya, ,seorang metafisikus dapat mengatakan, bahwa esensi kenyataan fisik ialah gerak, atau bobot atau keluasan; demikian, seorang metafisikus dapat menempatkan esensi manusia dalam tabiatnya yang sosial atau asosial, dalam kecondongannya ke arah yang baik atau yang jahat. Nah, ciri khas sebuah pernyataan metafisis ialah tidak dapat dipergoki bahwa pernyataan itu tidak benar, sekalipun sepintas kilas kelihatan tidak masuk akal. Ketegangan antara sebuah system metafisik atau sebuah pernyataan metafisis di satu pihak dan apa yang kita anggap benar (karena alasan yang memadai) di lain pihak, tidak cukup untuk menolak sistem atau pernyataan tadi, Bahkan, daya tarik banyak sistem metafisik justru terletak dalam menciptakan ketegangan itu. Tetapi daya tarik itu harus dibayar dengan harga mahal, ialah kebenaran sebuah sistem metafisik tidak dapat dipastikan. Marilah kita melihat contoh sebagai berikut.
Salah satu ucapan metafisis yang cukup telkenal ialah, manusia pada dasarnya egois. Sepintas kilas, ucapan itu condong kedengaran masuk akal juga. Tetapi kita lalu ingat, bahwa manusia sering sanggup berkorban bagi sesamanya. Orang tua mengorbankan segalanya bagi anak-anaknya, sanggup memberikan sebagian hartanya guna membantu sesarna yang kelaparan, sanggup mengorbankan waktu dan tenaga bagi cita-cita abstrak seperti sosialisme atau demokrasi. Reaksi seorang metafisikus terhadap keberatan-keberatan tadi cukup tipikal. Ia akan membantah dengan mengatakan, bahwa rupanya orang itu bertindak berlawanan dengan kepentingan diri karena de facto ia menjadikan kepentingan orang lain sebagai kepentingan dirinya sendiri. Orang tua yang berkorban bagi anaknya, sebetulnya mengabdi kepada kepentingan diri sendiri. Demikian pernah dikatakan, bahwa Kristus wafat di kayu salib demi kepentingannya sendiri, karena Ia terdorong oleh kemauan dan keyakinannya sendiri ingin menebus dosa umat manusia, Singkatnya, pernyataan metafisis mengenai kodrat manusia, sepintas kilas, kelihatan bertentangan dengan observasi kita mengenai tabiat manusia, namun pernyataan tadi tidak dapat digugurkan oleh fakta-fakta. Seorang metafisikus selalu menafsirkan fakta demikian rupa, sehingga membenarkan pandangannya, bukan menentangnya. Inilah daya tarik rnetafisika.

Bila kita naeninjau strategi seorang metafisikus, kita akan melihat bahwa ia selalu mencapai tujuannya dengan member arti lain kepada kata-kata daripada yang terjadi dalam hidup sehari-hari. Berdasarkan arti biasa kata "egoisme", maka mustahillah semangat berkorban seseorang kita sebut egoisme. Akan tetapi, seorang metafisikus menafsirkan kata "egoisme" demikian luas, sehingga, berdasarkan arti yang baru itu, setiap orang dapat kita golongkan pada kaum egois. Dengan lain perkataan, metafisika berdasarkan suatu manipulasi halus yang tidak selalu nampak terhadap kata-kata. Bandingkan misalnya pernyataan metafisis "manusia pada dasarnya seorang egois" dengan sebuah pernyataan lain, yakni "usia manusia tidak melebihi 150 tahun". Arti kata dalam pernyataan kedua tidak dapat diutak-atik, kita tahu dengan tepat arti "seratus lima puluh" dan "tahun". Maka dari itu, benar tidaknya pernyataan kedua memang dapat ditentukan. Dokumen-dokumen tidak melaporkan mengenai orang-orang yang menjadi lebih tua daripada 150 tahun, sehingga kita mempunyai cukup bukti untuk percaya akan ucapan kedua. Bila kita bertitik pangkal pada prinsip. Bahwa tugas ilmu ialah mengeluarkan ucapan-ucapan mengenai kenyataan (historis) yang dapat dicek kebenarannya, maka ucapan seorang metafisikus, yang pada dasarnya tak dapat dicek dan tak dapat dipastikan kebenarannya, harus kita tolak sebagai tidak ilmiah.

Ini juga berlaku mengenai semua filsafat sejarah yang spekulatif. Barang siapa mengatakan, bahwa hakikat sejarah terdapat dalam pertentangan kelas, atau bahwa hakikat proses sejarah identik dengan mekarnya Budi atau pelaksanaan kemajuan, maka ia memberikan kepada kata-kata "pertentangan", "Budi" atau "kemajuan" suatu arti lain dan lebih luas daripada lazimnya dan dengan demikian melindungi pernyataannya rnengenai sejarah terhadap kenyataan bahwa visinya berlawanan dengan fakta-fakta. Pemilihan pro dan kontra spekulasi metafisis, dengan demikian, lepas dari peristiwa-peristiwa masa silam. Pilihan itu, akhir-akhirnya, berpangkal pada selera pribadi, tetapi tidak pada kaidah-kaidah ilmiah. Maka dari itu, sebaiknya kita puas saja dengan apa yang dapat dikatakan seorang ahli sejarah mengenai masa silam. Spekulasi mengenai sejarah seperti dilakukan oleh seorang metafisikus dapat rnemikat, namun pengertian kita mengenai masa silam pada dasarnya tidak diperdalam.




2.3   Sistem-Sistem Spekulatif Tidak Llmiah

Di atas telah kita lihat, bahwa kata sifat "ilmiah" tidak dapat diberikan kepada spekulasi-spekulasi tentang sejarah, karena spekulasi itu, berlainan dengan pernyataan-pernyataan ilmiah, tidak menentu, tidak dapat dipastikan benar tidaknya. Lucunya, para filsuf sejarah spekulatif justru mengecap, bahwa pendekatan mereka terhadap masa silam lebih ilmiah daripada apa yang dilakukan oleh para ahli sejarah "biasa". Kelemahannya justru mereka anggap perisainya. Spekulasi-spekulasi mereka tentang sejarah sering mereka sertakan dengan segala macam perkakas ilmiah: mereka berpretensi dapat memberikan kepastian obyektif, telah melacak pola-pola atau kecenderungan-kenderungan yang secara teratur senantiasa muncul dalam sejarah, bahkan sering bertindak sebagai juru peramal mengenai masa depan.
Maka dari itu, ada gunanya memperhatikan pendapat filsuf-filsuf seperti Karl Popper, F.A. von Hayek atau M. Mandelbaum, mengenai pretensi ilmiah dalam sistem-sistem spekulatif. Khususnya, ide-ide Popper akan kita perhatikan, karena bobotnya memang sangat berpengaruh. Tetapi, demi keadilan, perlu juga dicatat, bahwa yang disoroti oleh Popper dan kawan-kawannya ialah suatu segi tertentu dalam sistem-sistem spekulatif itu, yakni pretensi mereka, seolah-olah dapat meramalkan hari depan. Oleh Popper, sistern-sistem spekulatif diberi nama "historisisme" (jangan dikacaukan dengan "historisme"!), Adapun menurut beliau, historisisme itu ialah cara pendekatan dalam ilmu-ilmu sosial dan ilmu sejarah yang bertitik tolak pada pendapat bahwa peramalan mengenai hari depan merupakan tujuan utama ilmu sejarah; ini dimungkinkan dengan menemukan "irama-irama", "pola-pola" kelakuan teratur, yang tunduk kepada suatu hukum yang semuanya mendasari arus sejarah. Masuk akal juga, bila pretensi ilmiah historisisme dan sistem-sistem filsafat sejarah spekulatif, kita teliti menurut kemampuannya meramalkan hari depan. Bukankah salah satu ciri khas dalam ilmu modern ialah dapat meramalkan proses-proses fisik seperti misalnya gerhana matahari dan sebagainya dengan teramat tepat? Namun kecenderungan untuk meramalkan masa depan mengakibatkan, bahwa perhatian kita lalu menyimpang dari pretensi sistem-sistem spekulatif, bahwa merekalah mampu mengatur dan menafsirkan masa silam dengan unggul. Maka dari itu, bila kita ingin mengkritik sistem-sistem spekulatif, tidak cukuplah hanya memperhatikan keberatan-keberatan Popper. Yang telah kami catat dalam pasal di atas mengenai sifat metafisis dalam sistem-sistem spekulatif sejarah, jangan diabaikan. Akan tetapi, secara tidak langsung pun, kritik Popper juga menyoroti pretensi sistem-sistem spekulatif mengenai masa silam.
Popper berawal dengan sebuah alasan umum, mengapa kita tidak dapat meramalkan hari depan dunia kita. Pengetahuan kita sangat menentukan wajah dunia kita di hari depan; betapa ilmu dan teknik mengubah wajah dunia kita. Mustahillah, kita dapat meramalkan kemajuan ilmu pengetahuan di kemudian hari. Andaikata kita dapat meramalkan tingkat kemajuan ilmu pengetahuan itu nanti tahun 2100, misalnya, kita sebetulnya sudah memiliki pengetahuan itu, jadi tidak berurusan lagi dengan pengetahuan di hari depan. Menurut penalaran logis yang sederhana, kita tidak dapat meramalkan kemajuah ilmu pengetahuan di kemudian hari. Jadi, kalau perkembangan sejarah untuk sebagian besar bergantung pada tingkat perkembangan ilmu pengetahuan, maka harus kita simpulkan, bahwa kita tidak dapat meramalkan perkembangan sejarah.
Sesudah mengajukan alasan yang umum ini, Popper meneliti pretensi historisisme bahwa dapat meramalkan hari depan. Menurut garis besar, ada empat cara aliran ini membuktikan kesahihan ramalan-ramalannya mengenai masa mendatang, yakni:
(1)   dirumuskan sebuah hukum evolusi bagi proses sejarah;
(2)   dicari sebuah dinamika sosial yang pengaruhnya terhadap sejarah sama dengan pengaruh dinamika bagi obyek-obyek fisik;
(3)   dicari kecenderungan-kecenderungan tertentu di dalam proses historis yang kemudian diproyeksikan ke depan;
(4)   dicari hukurn-hukum gerak yang membawahi perkembangan sejarah.

Di bawah ini keempat pendekatan historisistis akan kita tinjau satu per satu.

2.4   Hukum Evolusi bagi Proses Sejarah
Dalam karyanya yang terkenal, On the origin of species (1859), Darwin memperlihatkan bagaimana kehidupan di bumi berevolusi dan bagaimana terus-menerus dikembangkan jenis-jenis hewan baru. Para filsuf sejarah spekulatif berpendapat, bahwa, selaras dengan teori Darwin, dapat disusun semacam “hukum evolusi” bagi sejarah. Bukankah sejarah pun ditandai oleh suatu "struggle for life" terus-menerus antara orang perorangan, kelompok-kelompok, bangsa-bangsa dan seterusnya? Bukankah manusia, pun selalu diharuskan menyesuaikan diri kepada situasi-situasi historis yang terus-menerus berubah? Bukankah dalam sejarah pun, kita menyaksikan semacam "survival of the fittest"?
Terhadap jalan pikiran ini, dapat diajukan keberatan sebagai berikut: Teori Darwin bukanlah sebuah "hukum evolusi", melainkan suatu penafsiran mengenai sebuah proses yang unik, yang hanya satu kali terjadi. Kita hanya mengenal satu proses evolusi dan, untuk proses itu, tidak dapat disusun hukum-hukum, karena hukum-hukum selalu beikaitan dengan berbagai proses yang dapat dibandingkan satu dengan yang lain. Yang dapat dirumuskan ialah hokum-hukum bagi bagian-bagian proses evolusi itu, seperti misalnya hukum bahwa jenis hewan .yang paling berhasil menyesuaikan diri pada perubahan-perubahan, secara relative paling kuat berkembang biak. Tetapi, hukum-hukum yang berlaku bagi bagian-bagian proses evolusi, tidak dapat menghasilkan suatu hukum bagi proses evolusi dalam keseluruhannya. Sepintas kilas, ini kelihatan aneh, tetapi ingat, misalnya, akan permainan catur. Letak setiap buah catur berkaitan dengan letak yang sebelumnya, berdasarkan kaidah-kaidah yang mengatur gerak buah-buah catur itu. Namun dengan berpegang pada kaidah-kaidah itu tidak dapat disimpulkan suatu hukum yang akan menentukan perkembangan permainan catur tertentu.
Hal serupa itu juga berlaku bagi perkembangan sejarah. Setiap tahap dalam proses historis memang dapat disimpulkan dari tahap sebelumnya, tetapi ini belum menghalalkan penyusunan sebuah hukum evolusi bagi proses sejarah dalam keseluruhannya. Pertama-tama, karena teori evolusi ala Darwin-analogi ini selalu dicanangkan oleh para pendukung sistem spekulatif-bukanlah sebuah hukum evolusi. Kedua, hukum-hukum yang berlaku bagi bagian-bagian dalam sebuah proses yang majemuk, tidak secara otomatis menghasilkan hukum-hukum bagi proses dalam keseluruhannya yang sangat majemuk itu. (Lihat juga nanti 4.7.)
Pernah diusulkan, supaya dapat disusun sebuah hukum evolusi bagi sejarah umat manusia, kita perlu meninjau perkembangan di planit-planit lain, yang mungkin juga menumbuhkan suatu jenis kehidupan seperti kehidupan manusia. Akan tetapi, karena usaha-usaha kita untuk mengadakan kontak dengan peradaban-peradaban di luar bumi sampai saat ini tidak menghasilkan apa-apa, maka strategi ini tidak membuka perspektif-perspektif baru. Sebetulnya, Spengler dan Toynbee berusaha mengadakan perbandingan-perbandingan serupa itu, ketika mereka memotong-motong sejarah umat manusia menurut lingkaran-lingkaran yang. masing-masing kurang lebih otonom, lalu mencoba melihat dalam lingkaran-lingkaran itu pola-pola yang selalu kembali. Keberatan pertama yang dapat diajukan terhadap metoda ini ialah jumlah kasus amat terbatas, sehingga sukarlah menemukan pola-pola umum yang dapat dianggap sebagai hukum-hukum. Selain itu, titik pangkal bahwa sejarah pada pokoknya merupakan suatu rangkaian peradaban-peradaban yang masing-masing-mandiri dan terisolasi (suatu asumsi metafisis), tidak menghasilkan sebuah dasar yang cukup kuat guna merumuskan hukum-hukum yang berlaku umum.

2.5   Dinamika Sosial sebagai Sistem Spekulatif

Dalam ilmu mekanika, dibedakan antara statika (teori mengenai keseimbangan benda-benda yang tidak bergerak) dan dinamika (teori mengenai benda-benda yang bergerak). Berdasarkan perbedaan ini, ahli filsafat positivistis, Auguste Comte (1798- 1857), menyusun teorinya mengenai statika sosial dan dinamika sosial. Pertama, kepada mekanisme-mekanisme yang memberi bentuk kepada masyarakat-masyarakat pada tahap tertentu dalam perkembangannya. Kedua memperhatikan persoalan, bagaimana masyarakat-masyarakat berkembang dari tahap yang satu kepada tahap yang lain.

Toynbee pun terpikat olelr konsep ini. Oleh Popper, Toynbee dikutip sebagai berikut: “Peradaban-peradaban tidak merupakan keadaan-keadaan statis yang berlaku bagi suatu masyarakat, melainkan merupakan gerakan-gerakan yang sifatnya evolutif. Mereka tidak hanya tidak dapat mandek, tetapi juga tidak dapat dibalik tgnpa mengacaukan hokum gerak mereka sendiri."

Dalam pandangan ini, mengenai dinamika sosial, Popper melihat dua macam salah paham. Pertama, para pendukung teori itu terpengaruh oleh salah tafsir mengenai dinamika, seperti yang dimengerti oleh para ahli fisika. Bagi para ahli ilmu fisika, sistem-sistem dinamis menyerupai tata surya yang terisolasi terhadap pengaruh dari luar, dan dapat diulang kembali (keadaan tertentu secara teratur kembali). Memang, bagi sistem-sistem yang serupa itu, dapat diadakan ramalan-ramalan berdasarkan hukum-hukum dinamika yang memba wahi benda-benda dalam sistem itu.  Tetapi, dalam alam raya pun, sistem-sistem yang terisolasi dan yang sederhana itu jarang sekali ada. Masyarakat manusia pasti bukan merupakan satu sistem. Suku-suku yang terisolasi, yang tunduk kepada adat-istiadat tertentu dalam menggarap tanah, dan yang mengikuti irama musim-musim, sampai taraf tertentu, dapat dipandang sebagai sistem yang seperti itu. Bagi masyarakat-masyarakat kecil itu memang, dapat muncul ramalan-ramalan, misalnya mengenai adat-istiadat, upacara- upacara, dan sebagainya.
Singkatnya yang lebih selaras dengan dinamika dalam arti kata yang khas itu, justru masyarakat-masyarakat yang oleh para ahli antropologi disebut masyarakat-masyarakat statis. Ilmu alam tidak menyajikan analogi-analogi yang mirip dengan proses-proses perkembangan dalam sejarah, seperti yang diselidiki filsuf sejarah spekulatif. “Konsep "dinamika sosial" tidak masuk akal dan tidak dapat dipakai untuk rnengadakan ranalan-ramalan mengenai masa depan”.
Salah paham kedua dapat dirumuskan sebagai berikut, “Analogi yang dilihat oleh para filsuf sejarah spekulatif antara gerak  masyarakat dan gerak benda-benda fisis dan yang kemudian dapat dijadikan obyek terapan bagi suatu itern dinamika, mendorong mereka melihat masyarakat manusia sebagai “sebuah benda fisis” seperti yang diteliti oleh ilmu dinamika, saling terkait dan tak terbagi menurut keseluruhannya”. Sebuah peluru yang ditembakkan, dalam keseluruhannya memang tunduk kepada hukum-hukum dinamika tertentu. Tetapi, masyarakat masyarakat manusia tidak sama persis seperti sebuah peluru.
Dalam sistem-sistem spekulatif, masalah terakhir ini biasanya diabaikan. Karena, sesuai dengan tabiat metafisis sistem-sistem itu, suatu aspek tertentu dalam kenyataan sosio-historis ditunjuk sebagai pengemban perkembangan sejarah. Bagi aspek tertentu itu, mereka lalu mengembangkan hukum-hukum dinamis, sedangkan aspek-aspek lain mereka abaikan, atau mereka anggap akan menyesuaikan diri pada pengemban proses historis yang terus-menerus berubah dengan sendiriya. Kecenderungan ini, menyebabkan gambaran bahwa masa silam memperlihatkan distorsidistorsi.
Tetapi, ada satu keberatan yang lebih serius Spekulasi-spekulasi sejarah tidak hanya terbatas pada kamar belajar tentang filsuf yang hasil telaahnya kemudian disajikan kepada rekan- rekan filsafat. Di luar kamar belajarnya, di atas panggung sejarah, sistem-sistem  itu pernah sangat berpengaruh, kadang-kadang sampai saat ini. Peristiwa-peristiwa politik yang dramatis dan yang merombak masyarakat (misalnya.Revolusi Rusia) diilhami oleh filsafat-filsafat sejarah spekulatif. Kita dapat mendukung tesis yang mengatakan bahwa, selama abad yang lampau, filsafat-filsafat sejarah spekulatif termasuk penggerak paling kuat bagi perubahan-perubahan dalam proses sejarah.
Filsafat-filsafat sejarah spekulatif memberi dorongan dan motivasi untuk memberontak  terhadap sistem masyarakat yang sedang berlaku, lalu membangun suatu masyarakat baru sesuai dengan filsafat sejarah tertentu. Bencana dan musibah yang diakibatkan oleh usaha untuk melaksanakan suatu filsafat sejarah tertentu, pada umumnya, dapat dibebankan kepada sistem-sistem spekulatif . Atas nama filsafat-filsafat spekulatif (entah dalam bentuk mitos mengenai bangsa, ras, atau masyarakat proletar), telah menumpahkan lebih banyak darah dari pada atas nama sistem intelektual atau agama mana pun.
Diskusi-diskusi mengenai jasa sistem-sistem spekulatif, tidak hanya terbatas pada ruang kuliah. Popper telah menunjukkan bahwa, tabiat metafisis dalam sistem-sistem itu tidak hanya menyebabkan distorsi dalam image kenyataan historis, melainkan juga kemungkinan-kemungkinan dalam bidang politik yang kurang enak. Barang siapa mengatakan bahwa aspek A merupakan hakikat proses historis, maka dengan mudah sekali semua aspek lain akan berusaha menyesuaikan dalam kenyataan politis dengan aspek A tadi. Andaikata ini tidak berhasil, maka dengan mudah sekali orang lalu mengambil tindakan yang tebih tegas lagi. Seorang politikus yang terpikat oleh sebuah sistem spekulatif dan yang mempunyai kekuasaan politis untuk melaksanakan kepercayaannya, mudah tergoda untuk memaksa orang lain dan masyarakat agar menyesuaikan diri kepada pedoman-pedornan sistem spekulatif itu. Andaikata ini tidak berhasil, ia akan mengesampingkan anasir-anasir yang membangkang. BiIa kenyataan tidak sesuai dengan kerangka metafisis, maka kenyataan akan dipaksa untuk menyesuaikan diri kepada kerangka metafisis itu. Maka tidak mengherankan lagi bila masyarakat-masyarakat yang didasarkan atas salah satu spekulasi sejarah memperlihatkan sifat-sifat totaliter,.

2.6   Arah Perkembangan
Masuk akal, bahwa, berdasarkan keberatan-keberatan tersebut di atas, seorang filsuf sejarah spekulatif sanggup memperlemah tabiat metafisik dalam sistemnya. Ia akan menerima, bahwa masyarakat mempunyai berbagai aspek dan bahwa  memang tidak benar memilih satu aspek saja sebagai pokok, sedangkan membuang  yang lain karena tidak relevan. Akan tetapi, demikian akan dikatakan filsuf sejarah spekulatif , tetap terbuka kemungkinan mempelajari semua atau sejumlah besar aspek masyarakat sendiri-sendiri, Ialu menetapkan  ke arah mana setiap aspek itu  berkembang, sehingga akhirnya kita dapat menyimpulkan ke arah mana masyarakat,  sebagai suatu keseluruhan berkembang berdasarkan evolusi-evolusi dalam bagian-bagiannya.
Akan tetapi, usaha para filsuf sejarah untuk meramalkan masa depan masyarakat menurut garis besar arah perkembangan ditoiak oleh Popper. Pertama-tama ia mencatat bahwa kecenderungan-kecenderungan itu hanya berlangsung pada saat-saat tertentu; beberapa saat kemudian trend itu dapat lenyap lagi. Ramalan-ramalan vang dapat diandalkan,  apalagi ramalan untuk jangka panjang yang menjadi hobi para ntsuf sejarah-tidak mungkin.
Ada keberatan lain yang lebih serius dan yang berkaitan dengan yang pertama. Pada akhir alinea di atas telah kita lihat, bahwa bukan trend itu sendiri, melainkan konstantekonstante yang kita amati dengan bantuan ilmu sosial, Yang memberi kemungkinan untuk menerangkan atau meramalkan peristiwa-peristiwa tertentu. Maka dari itu, ada gunanya meninjau dengan lebih teliti, hubungan antara trend-trend di satu pihak dan pola-pola tetap (yang berdasarkan suatu hukum) di lain pihak. Dengan demikian, kita dapat membatasi pengertian trend atau tendensi itu dengan tepat, sehingga kita tahu apa yang dapat dan apa yang tidak dapat kita harapkan dari trend-trend itu, khusus dalam hubungannya dengin ramalan-ramalan mengenai hari depan. HaI ini dijelaskan Popper dengan contoh, tata surya kita. Taruhlah bahwa tata surya kita, dalam perjalanannya, lewat angkasa raya pada suatu saat tertentu, melintasi sebuah gumpalan gas raksasa. Karena gas itu, gerak planet-planet akan dilambatkan. Adapun radius lingkaran planet-planet itu seputar matahari, selalu tergantung pada kecepatan planet-planet. Karena kecepatan itu diperlambat, maka radius-radius planet-planet itu memperlihatkan kecenderungan menjadi lebih pendek. Inilah sebuah contoh sempurna mengenai kecenderungan atau trend. Dari contoh ini nampaktah bahwa ada dua hal yang menentuhan suatu trend yakni:
(1)   sejumlah pola yang berdasarkan hukum fisika (di sini' hukum yang mengadakan  hubungan antara kecepatan planit dan radius perjalanannya);
(2)   satu atau lebih banyak syarat permulaan (di sini, adanya gumpalan gas yang akan memperlambat kecepatan planet-planet).
Nah, sifat-sifat ini berlaku bagi semua trend'.Baru berdasarkan kondisi awal serta pola-pola hukum, kita dapat menerangkan atau meramalkan tendensi-tendensi itu. Akan tetapi, bila kita meninjau sistem-sistem spekulatif yang membicarakan trend trend, maka kentaralah bahwa mereka selalu melupakan kondisi awal. Demikian Comte dan Stuart Mill, dalam sistem spekulatif mereka, mengatakan bahwa dalam proses historis nampaklah suatu trend menuju kemajuan, artinya pengetahuan kita makin banyak dan tata tertib sosial makin sempurna. Mereka mengeluarkan pernyataan-pernyataan tegas mengenai adanya suatu tendensi, tanpa menghiraukan ada tidaknya kondisi awal yang harus dipenuhi. Tetapi, justru dalam kenyataan sosial-historis, kondisikondisi awal itu penting sekali. Di sana sering kelihatan bahwa kondisi awal yang merupakan kesempatan yang meletuskan suatu trend tertentu, justru sebagai akibat trend itu, lalu dilenyapkan sendiri. Taruhlah bahwa karena reklame, sebuah komoditi sangat laris. Karena permintaan besar (kondisi awal), angka penjualan komoditi itu meningkal (trend,). Tetapi, karena barang itu secara relatif banyak terjual'(trend), maka pada suatu saat pasar menjadi jenuh dan permintaan (kondisi awal) turun, bahkan lenyap' Justru dalam kenyataan sosial-historis, kecenderungan-kecenderungan atau tendensi itu merongrong kondisi hidup mereka sendiri. Itulah sebabnya kita setuju dengan konstatasi Mandelbaum, bahwa dalam menerangkan atau meramalkan aspek-aspek kenyataan sosio-historis, kita seyogyanya mengandalkan keteraturan hukum yang dibenarkan oleh, ilmu-ilmu sosial.

2.7   Hukum-hukum Gerak atau Hukum-hukum Urutan
Dapat dibayangkan, bahwa seorang filsuf sejarah spekulatif menggarisbawahi uraian di atas tadi, namun tetap berpendapat bahwa dapat dirumuskan hukum-hukum urutan atau hukum-hukum gerak yang menopang proses historis, sehingga berdasarkan hukum-hukum itu dapat diramalkan masa depan dengan jangkauan jauh. Lalu, seperti sering terjadi, filsuf sejarah spekulatif mencari ilham pada ilmu eksakta. Kali ini contohnya diambil dari permainan bilyar. Seperti benturan bola bilyar dengan bola iain atau dengan tepi meja bilyar, dapat diramalkan apa yang akan terjadi sesudah benturan, demikian juga pada prinsipnya dalam masyarakat manusia, tahap demi tahap dapat diterangkan dan diramalkan berdasarkan tahap-tahap sebelumnya. Seperti hukum-hukum mekanika, bila diterapkan terhadap tahap-tahap kejadian di meja bilyar (kondisi awal) membuka kemungkinan meramalkan apa yang akan terjadi, demikian juga hukum-hukum mekanika historis atau hukum urutan memungkinkan kita meramalkan proses historis tahap demi tahap. Dalam kedua kasus, kita tidak melakukan kesalahan-kesalahan seperti dicatat di atas.
Akan tetapi, justru ilmu alam yang mengilhami filsuf sejarah spekulatif memperlihatkan, betapa usul itu akan menemui jalan buntu. Dalam ilmu alam, tiada yang disebut "hukum urutan", hanya dalam kasus-kasus tertentu, seperti dalam permainan bilyar. Bila kita berhadapan dengan sebuah sistem terisolasi yang hanya sedikit terpengaruh oleh luar, kita dapat menyusun semacam hukum urutan. Tetapi, seketika kita berurusan dengan suatu sistem yang agak majemuk, maka dalam ilmu alam pun tak ada kemungkinan meramalkan apa yang akan rerjadi. Dalam kaitan ini Mandelbaum mengambil sebuah lok uap sebagai contoh. Seluruh proses yang terjadi dalam sebuah mesin uap, semenjak api di bawah ketel dinyalakan sampai lok itu mulai bergerak, ternyata sangat majemuk. Untuk proses itu dalam keseluruhannya tiada hukum-hukum. Ada hukum yang mengatakan, bilamana air akan mulai menguap; ada hokum yang mengatakan, bahwa tekanan uap tergantung suhu, kita dapat memperhitungkan tekanan pada silinder dan kita dapat memperhitungkan pula daya tarik lok uap itu pada jalan yang rata. Tetapi, belum pernah ada seorang ahli mesin yang merumuskan hukum-hukum bagi lok uap pada umumnya. Alasannya, karena seorang ahli ilmu fisika selalu memecahkan suatu gejala majemuk, dijadikan bagian-bagian. Ia bertindak secara analitis, dari yang majemuk ke arah yang sederhana, seperti telah dianjurkan Descartes, pada abad ke-l7, kepada para peneliti ilmu fisika. Usul para filsuf sejarah spekulatif agar mulai dengan yang sederhana menuju ke keseluruhan, bertentangan dengan cara kerja yang merupakan sgarot mutlak agar dapat memperoleh hasil penelitian ilmiah yang dapat diandalkan.
Akhirnya, beberapa catatan samping pada kritik yang dilontarkan oleh Popper, von Hayek, dan Mandelbaum terhadap sistem-sistem spekulatif. Ada dua hal utama yang mereka persalahkan dalam sistem-sistem spekulatif yang ingin meramalkan masa depan. Pertama, sistem-sistem spekulatif itu sering berdasarkan pengertian naif, bahkan keliru, mengenai hal-ikhwal dalam ilmu-ilmu eksakta. Dalam pasal ini, dan pasal sebelumnya, telah kami berikan sejumlah contoh yang jitu. Kedua, dan ini berkaitan dengan sifat metafisisnya, para filsuf sejarah spekulatif selalu cenderung memandang masyarakat manusia sebagai suatu kesatuan yang kompak, yang bagaikan sebuah bola bilyar bergelindingan menuju tujuannya. Kecenderungan ini pernah disebut "holisme"; seorang penganut holisme melihat masyarakat manusia sebagai suatu keseluruhan yang juga dalam keseluruhannya tunduk kepada hukum-hukum tertentu. Selaras dengan alasan Popper yang disebut dalam alinea di atas tadi, maka serangannya terhadap holisme (serta sistem-sistem filsafat sejarah spekulatif sejauh itu didasarkan atas paham holisme) dapat diringkas sebagai berikut: paling banter kita dapat menemukan hukum-hukum yang membawahi bagian-bagian atau aspek-aspek tertentu dalam masyarakat manusia, tetapi tak pernah hukum-hukum yang mempengaruhi keseluruhannya, keseluruhan "holistis" dalam masyarakat. Maka dari itu, Popper tidak mengesampingkan kemungkinan, bahwa untuk bagian-bagian masyarakat manusia, kita dapat menemukan pola-pola hukum. Ia yakin bahwa ilmu-ilmu sosial yang meneliti aspek-aspek detail itu, akan berhasil atau sudah berhasil menemukan hukum-hukum yang berlaku dalam bidang-bidang terbatas itu, sehingga, dengan bantuan hukum-hukum tersebut, kita dapat membuat ramalan yang dapat dipertanggungiawabkan. Berdasarkan suatu hukum ekonomi terkenal, kita dapat meramalkan, bahwa dengan menurunkan nilai rupiah terhadap valuta asing, maka ekspor kita akan meningkat. Akan tetapi, sekalipun kita mengetahui berbagai hukum serupa itu, kita tak pernah dapat meramalkan sesuatu untuk masyarakat manusia dalam keseluruhannya; alasannya cukup sederhana, yakni pengertian mengenai "masyarakat manusia dalam keseluruhan" merupakan isapan jempol holistis. Ramalan-ramalan yang pernah disuarakan  oleh Club of Rome (sejumlah cendekiawan yang pernah berjumpa di kota Roma pada tahun 1975), ternyata meleset dan kegagalan ini membenarkan lagi. pendapat Popper. Forecast yang dibuat oleh sekelompok cendekiawan itu memang mirip dengan filsafat sejarah spekulatif yang tradisional.

2.8  Wibawa Sistem-sistem Spekulatif Ditegakkan Kembali
Sampai waktu yang tidak begitu lama berselang, kebanyakan filsuf sejarah bersepakat, bahwa sistem-sistem spekulatif merupakan filsafat yang buruk atau sejarah yang buruk – bahkan mungkin juga kedua-duanya. Ini antara lain disebabkan, karena filsafat sejarah, seperti ditekuni oleh para ahli yang menulis dalam bahasa Inggris (dan yang sangat berpengaruh terhadap refleksi sejarah dewasa ini), dilahirkan dari perlawanan terhadap sistem-sistem spekulatif. Namun, akhir-akhir ini terjadi suatu perubahan dalam iklim ini. Ada dua faktor yang memainkan peranan. Pertama, rasa enggan terhadap metafisika selama dua atau tiga dasawarsa terakhir ini sangat berkurang, demikian juga aversi terhadap sistem-sistem spekulatif. Filsafat sejarah pada tahun lima puluhan dan enam puluhan abad ini tertuju pada bagian-bagian dalam kisah sejarah, bukannya pada keseluruhannya. Terasa kebutuhan untuk memulihkan kembali keseimbangan. Sistem-sistem spekulatif, lebih daripada pengkajian sejarah "biasa", mengusahakan sebuah sintesis dan integrasi yang menempatkan bagian-bagian proses historis dalam suatu kerangka yang menyeluruh. Oleh karena itu, masuk akal bahwa suatu penelitian mengenai struktur logis dalam filsafat-filsafat sejarah spekulatif akan berguna.
Haskell Fain, seorang filsuf sejarah dari Amerika, pernah mengusulkan suatu pembelaan bagi sistem-sistem spekrllatif yang, sampai sekarang ini, paling menarik. Ia berpendapat, bahwa penolakan terhadap sistem-sistem spekulatif yang demikian tegas dan total, merugikan filsafat sejarah. Menurut Fain, maka di dalam penulisan sejarah selalu dapat dibedakan dua lapisan, yakni lapisan fakta dan peristiwa (dan pelaporannya) serta integrasi fakta itu di dalam sebuah cerita historis. Memang, seorang peneliti sejarah sering (harus) menekuni fakta-fakta masa silam. Misalnya, mengapa orang perorangan atau suatu kelompok sosial berkelakuan begini atau begitu, apa yang menyebabkan suatu peristiwa, bagaimana sandang pangan orang Eropa Barat pada Abad Pertengahan, dan sebagainya. Tetapi, seorang ahli sejarah baru menunaikan tugasnya dengan baik, bila semua bahan faktual diintegrasikan secara maksimal di dalam suatu visi menyeluruh yang, kemudian, lewat sebuah kisah historis (narratio), entah itu buku atau karangan disajikan. Oleh karena itu, seorang ahli sejarah harus mengadakan seleksi. Pertama, karena ia tidak mempunyai waktu dan ruang (jumlah halaman) untuk menulis segala sesuatu mengenai masa silam yang mungkin dapat diutara- kan mengenai masa itu. Akan tetapi, seorang ahli sejarah juga harus mengadakan seleksi – jadi tidak menyebut peristiwa-peristiwa tertentu – karena sifat-sifat sebuah cerita memang tidak mengizinkan menyebut segala sesuatu. Andai kata dalam suatu uraian mengenai sistem ekonomi yang dianut oleh VOC, tiba-tiba kita bejumpa dengan suatu kisah mengenai istri Jan Pieterszoon Coen, kita pasti merasa heran, Tidak karena apa yang dikatakan mengenai istri itu tidak benar, melainkan karena penyimpangan serupa itu tidak sesuai dengan bahan pembicaraan, tidak serasi dengan narasi pada umumnya. Ini lalu menimbulkan pertanyaan, bagaimana seorang ahli sejarah mengadakan seleksi, artinya bagaimana ia menentukan apa yang pantas disebut dalam ceritanya dan apa yang tidak.
Jawaban klasik yang sering diberikan ialah, prinsip kausalitas harus merupakan pedoman bagi seorang ahli sejarah dalam masalah seleksi. Dalam sebuah kisah sejarah, bagian-bagian individual merupakan mata rantai-mata rantai dalam suatu deretan kausal yang panjang. Peristiwa yang ada hubungan kausal dengan, apa yang diuraikan dalam cerita sejarah, pantas disebut. Yang lain tidak disinggung (lihat 9.5). Fain menolak pandangan ini dan memperkuat pendiriannya dengan memberikan kritik terhadap pendapat- pendapat masa kini mengenai kausalitas. Pendapat-pendapat  tadi, pada dasarnya, masih tetap sama seperti dibela oleh David Hume, seorang filsuf dari Skotlandia (1712-1776). Menurut Hume, A menyebabkan (merupakan kausa bagi) B, bila faktor A selalu mendahului munculnya faktor atau peristiwa B. Yang pokok dalam pandangan Hume dan di sinilah pandangannya memang baru ialah bahwa hubungan kausal hanya terdapat di dalam roh manusia yang mengadakan hubungan itu. Maksudnya, bahwa B merupakan akibat tidak merupakan sifat A (seperti sifat meja ini memang ialah mempunyai empat kaki) melainkan salah satu kualitas yang seolah-olah dari luar kita terapkan pada A, atau memproyeksikan kepada A, karena melihat bahwa A selalu diikuti oleh B. Dengan demikian, Hume melawan gagasan yang pada zamannya umum diterima, ialah bahwa di dalam sebab-sebab selalu terkandung kemampuan untuk menyebabkan suatu akibat tertentu. Bahwa A menyebabkan B tidak disebabkan karena di dalam A terdapat suatu sifat atau kemampuan tertentu, melainkan semata-mata karena kita, sebagai subyek yang mengenal dan tahu, menyadari bahwa A selalu disusul oleh B. Penalaran ini memang cukup sukar dan rumit, maka dari itu ada gunanya kita telusuri sebentar.
Bagi Hume, cukuplah sebagai satu-satunya syarat untuk menegaskan adanya hubungan kausal antara A dan B, bila A dan B selalu kelihatan bersama, tanpa memperhatikan seluk beluk sekitar munculnya A dan B. Andaikata munculnya noda-noda pada permukaan matahari selalu terjadi bersama- sama dengan huru-hara politis di bumi, ini bagi Hume sudah cukup alasan untuk menduga adanya hubungan kausal. Bagaimana sifat kejadian-kejadian itu, bagi Hume, sama sekali tidak relevan. Satu-satunya yang dipentingkannya ialah apakah peristiwa-peristiwa itu selalu muncul bersama-sama atau tidak. Inilah yang secara kritis disoroti oleh Fain. Bila para ahli sejarah berbicara mengenai sebabsebab, maka keadaannya lebih rumit daripada hanya munculnya dua peristiwa bersama-sama secara teratur. Sebelum kita dapat berbicara mengenai hubungan kausal, harus ada juga suatu kaitan intrinsik, suatu kaitan mengenai sifat dan kategori peristiwa yang berhubungan secara kausal. Seorang ahli sejarah yang menerangkan meletusnya Perang Dunia II berdasarkan serangkaian proses neurofisiologis dalam otak Adolf Hitler, dalam pandangan Hume, memberikan suatu keterangan yang tepat (memang, dalam sejarah, serangkaian proses yang terjadi dalam otak sementara pemimpin negara, selalu mendahului meletusnya sebuah perang), tetapi keterangan
serupa itu tidak memuaskan. Para ahli sejarah tidak akan menerima keterangan ini, karena meletusnya perang-perang di satu pihak dan proses-proses neurofisiologis di lain pihak, teramat berbeda sifat dan tabiatnya. Mereka mencari peristiwa-peristiwa dan keadaan-keadaan yang setingkat dengan meletusnya Perang Dunia II (misalnya bahwa Polan Polandla bersekutu dengan Inggris dan Prancis, atau kesanggupan Hitler melancarkan politik luar negeri yang agresif, sekalipun itu- mengakibatkan peperangan). 
Akan tetapi, bagaimana kaitan menurut sifat dan kategori ysng dianggap perlu oleh Fain, sebelum kita dapat berbicara mengenai suatu hubungan kausal? Di sinilah Fain menunjukkan gunanya filsafat-filsafat sejarah spekulatif. Hendaknya klta membayangkan masa silam sebagai sebatang pipa, yang terbuat dari semua peristiwa pada masa silam. Setiap tahun, seolah-olah pipa itu diperpanjang dengan sebuah ruas (ingat misalnya akan sebatang bambu). Peristiwa-peristiwa dapat berupa peristiwa mikro, seperti misalnya perbuatan orang perorangan, atau peristiwa makro, seperti muncul dan mundurnya lingkungan-lingkungan kebudayaan - dan segala sesuatu yang terdapat di tengah-tengah kedua kategori itu. Baru berdasarkan suatu filsafat sejarah spekulatif tertentu, kita maklum akan apa yang berkaitan satu dengan yang lain pada masa silam itu, dan maklum pula mengenai apa yang "sesuai" dalam sebuah narasi sejarah. Filsafat sejarah spekulatif ala Marx, mengidentifikasikan peristiwa-peristiwa sosial-ekonomis. Dengan demikian, Marx menawarkan kepada para ahli sejarah, juga mereka yang bukan marxis, suatu kerangka interpretasi yang berguna untuk mengkaji sejarah dengan suatu cara yang baru dan penuh stimulans. Sebelum Marx, karena kerangka interpretatif itu tidak ada, para peneliti sejarah mau tidak mau tersesat dalam persoalan-persoalan sekitar sejarah sosial-ekonomis. Demikian pula dapat dikatakan, bahwa filsafat sejarah ciptaan Hegel (Budi menguasai sejarah) menyajikan kerangka interpretasi yang dapat mengembangkan sejarah intelektual. Singkatnya, filsafat-filsafat sejarah spekulatif menunjukkan peristiwa-peristiwa mana yang pantas diteliti oleh seorang ahli sejarah, peristiwa-peristiwa mana mirip
mengenai sifat dan kategorinya, sehingga pantas dijadikan bagian dalam suatu cerita sejarah. Tema dan bahan penelitian setiap penelitian historis dan setiap cerita historis, ditentukan oleh filsafat sejarah spekulatif. Itulah pentingnya filsafat sejarah spekulatif bagi penulisan sejarah. Entah itu disadari atau tidak disadari oleh seorang ahli sejarah, namun dalam penulisan sejarah, ia selalu diilhami oleh suatu fiisafat sejarah spekulatif yang dengan sadar atau tidak sadar diterimanya.
Berdasarkan uraian di atas, maka, menurut Fain, tidak mungkinlah membedakan secara ketat filsafat sejarah spekulatif di satu pihak dan pengkajian sejarah di lain pihak. Filsafat sejarah spekulatif menyajikan kerangka bagi narasinarasi sejarah, sedangkan narasi sejarah memberi daging dan otot kepada kerangka itu. Kedua-duanya selalu diperlukan. Narasi sejarah tanpa adanya filsafat sejarah spekulatif adalah buta, filsafat sejarah spekulatif tanpa fakta adalah hampa, demikian Fain sambil menyindir suatu ucapan Kant yang terkenal. Bedanya filsafat sejarah spekulatif dan pengkajian sejarah "biasa" hanya menyangkut nuansa; yang
pertama lebih mementingkan kerangka atau struktur, yang kedua lebih memperhatikan fakta sejarah yang mengisi struktur itu.
Akhirnya, Fain mengarahkan segala perhatiannya pada kemampuan filsafat sejarah spekulatif untuk memberi struktur kepada pengetahuan kita mengenai masa silam, untuk mengatur dan menafsirkannya. Masa depan tidak dihiraukannya, Pembelaan Fain bagi filsafat sejarah spekulatif serta gunanya bagi pengkajian sejarah biasa, tidak memaksanya untuk membela pretensi filsafat sejarah spekulatif yang ingin meramalkan masa depan. Memang, ia tidak mengambil Iangkah-langkah ke arah itu. Ia, bahkan sebaliknya, bersedia menerima kritik Popper terhadap pretensi filsafat sejarah spekulatif yang seolah-olah dapat meramalkan hari depan. Tetapi, kritik itu, menurut Fain, tidak mengurangi nilai filsafat sejarah spekulatif bagi pengkajian sejarah.

B.     Analisis
Filsafat sejarah menurut Ankersmit yaitu merupakan suatu bagian dari filsafat yang memiliki keterkaitan dengan perenungan, bersifat spekulatif guna menjawab beberapa masalah dalam suatu proses sejarah. Filsafat sejarah menurutnya terdiri atas tiga unsur yang memang saling berhubungan namun masing-masing berdasarkan permasalahannya sendiri. Unsur-unsur tersebut antara lain unsur deskriptif, spekulatif dan kritis.
Menurut Ankersmit teori sejarah dengan filsafat sejarah tidak ada batasan kajian dalam pengkajiannya. Filsafat sejarah sangat terkait dengan teori sejarah dalam kata lain filsafat sejarah mempelajari teori-teori sejarah. Ankersmit mengemukakan agar istilah teori sejarah dijadikan dalam satu istilah yaitu filsafat sejarah. Maka menurut Ankersmit teori sejarah merupakan isi konsep-konsep dan teori-teori sejarah yang dikaji dalam filsafat sejarah.
Pendapat Ankersmit adalah suatu kajian terhadap suatu ilmu pengetahuan yang mendalam. Dimana suatu kajian studi ilmu pengetahuan selalu berpatokan atau berasal ketika seorang berfilsafat atau merenung dan berfikir  terhadap hal hal yang baru. Dan saya pun setuju dengan pedapat ankersmit yang menyatakan bahwa filsafat sejarah tidak dipisahkan dengan teori sejarah, karena keduanya saling terkait satu sama lain  dan saling melengkapi.
Hegel menyatakan bahwa filsafat sejarah merupakan hasil karya Budi atau Roh. Roh atau Budi memiliki dua sifat yaitu Roh Subyektif dan Roh Obyektif. Roh yang bersifat subyektif inilah yang mendorong manusia untuk melakukan suatu proses sejarah. Hegel tidak mempercayai adanya suatu kebetulan dalam suatu peristiwa sejarah.Kenyataan menurutnya adalah suatu hal yang didasarkan pada konsep-konsep rasional.Hegel membedakan filsafat sejarah menjadi dua macam yaitu filsafat sejarah formal dan filsafat sejarah material. Filsafat sejarah formal didasarkan pada akal budi manusia sedangkan filsafat sejarah material mengukur segala sesuatu tentang sesuatu yang Nampak atau dapat ditangkap oleh rasional. Hegel merupakan salah satu pendukung filsafat sejarah spekulatif yang penuh dengan perkiraan. Maka dari itu filsafat sejarah ala Hegel banyak memiliki kelemahan yang memaknai sejarah dengan apriori dan aposteriori.
Leopold von Ranke berpendapat seorang peneliti sejarah “bukannya menghakimi masa silam, bukannya memberi ajaran yang berguna kepada masyarakat mengenai masa mendatang, melainkan hanya menunjukkan bagaimana masa sebetulnya masa silam tersebut”. Dari pernyataan tersebut Ranke tidak menyetujui adanya filsafat sejarah karena berupa pemikiran-pemikiran yang tidak bersumber dari fakta atau sumber sejarah yang kongkrit, melainkan dipengaruhi oleh pemikiran-pemikiran seorang filusuf sejarah.
Filsafat sejarah spekulatif merupakan perenungan filsafat mengenai tabiat-tabiat atau sifat-sifat proses sejarah. Tiga hal yang manjadi pusat perhatian filsafat sejarah spekulatif yaitu pola dalam proses sejarah, motor penggerak sejarah, dan tujuan peristiwa sejarah. Filsafat sejarah spekulatif yang lebih dekat dengan metafisis, penuh ketidakpastian ini memunculkan kritis oleh para ahli sejarawan. Apabila sejarah bersifat metafisis bagaimana cara kita untuk dapat mempercayai dan membuktikan kebenaran sejarah yang diterangkan. Filsafat sejarah kritis merupakan sikap kritis dan skeptis atas peristiwa sejarah, konsep-konsep sejarah, teori-teori sejarah, dan penulisan sejarah yang penuh subyektivitas.
Berdasarkan pembahasan mengenai kritik terhadap sistem spekulatif di atas kami mengetahui bahwa sebuah sistem spekulatif tidak begitu saja dapat divonis benar atau tidak benar, sah atau tidak sah, seperti yang dapat dilakukan terhadap penafsiran-penafsiran sejarah atau teori-teori ilmu alam. Filsafat sejarah yang bersifat metafisis, sedangkan metafisika sendiri adalah cabang filsafat yang menjawab pertanyaan mengenai hakikat atau esensi ( hal-hal dalam ) kenyataan. Ciri khas sebuah pernyataan metafisis adalah tidak dapat dipergoki bahwa kenyataan itu tidak benar, sekalipun sepintas kelihatan tidak masuk akal. Maka penolakan terhadap sistem spekulaif bukan karena tidak benar, tetapi karena kebenarannya tidak dapat dipastikan.
Sistem spekulatif sering menganalogikan kebenaran mengenai suatu peristiwa dengan model-model dari eksakta, dimana dengan hal ini ingin dicapai suatu kebenaran yang ilmiah. Pemahaman mengenai pengetahuan ilmiah adalah pengetahuan yang saling berkaitan secara sistematis dan disusun secara rapi. Memiliki hukum yang bersifat umum, kebenarannya bersifat universal bukan kebenaran khusus. Namun pada akhirnya pengetahuan ilmiah tidak dapat diberikan kepada spekulasi-spekulasi tentang sejarah. Sebab pengetahuan ilmiah menuntut suatu kondisi yang terkontrol dalam sebuah pembuktian percobaan. Namun kita tidak bisa melakukan kontrol terhadap peristiwa sejarah, kendai ditemukan sebuah peristiwa yang serupa (seolah terjadi penglangan) namun hasilnya tidak dapat diprediksi secara pasti karena selalu ada faktor lain yang ikut mempengaruhi gerak sejarah.
Gerak sejarah bukanlah dtentukan berdasarkan hukum-hukum atau pola-pola tetap yang harus dipatuhi tetapi dalam hal ini sistem spekulatif mengatakan bahwa dalam proses historis nampaklah suatu trend menuju kemajuan artinya pengetahuan kita semakin banyak dan tata tertib sosial makin sempurna, karena adanya suatu tendensi tanpa menghiraukan ada tidaknya kondisi awal yang harus terpenuhi. Walaupun demikian mereka masih berusaha menyusun suatu hukum yang mengatur gerak sejarah. Mereka mencoba merumuskan hukum-hukum gerak atau hukum-hukum urutan yang menopang proses historis, sehingga berdasarkan hukum-hukum tersebut dapat diramalkan dengan jangkauan jauh.
Akhirnya dalam membahas sistem spekulatif kita juga memperoleh manfaat dimana filsafat-filsafat spekulatif menunjukkan peristiwa-peristiwa mana yang pantas diteliti oleh seorang ahli sejarah, peristiwa-peristiwa mana mirip mengenai sifat dan kategorinya sehingga pantas dijadikan bagian dalam suatu cerita sejarah. Filsafat Sejarah Spekulatif merupakan suatu perenungan filsafati mengenai tabiat atau sifat-sifat gerak sejarah, sehingga diketahui srtruktur-dalam  yang terkandung dalam proses gerak sejarah dalam keseluruhannya. Tema dan bahan penelitian setiap penelitian historis dan setiap cerita historis, ditentukan oleh filsafat sejarah spekulatif. Itulah pentingnya filsafat sejarah spekulatif bagi penulisan sejarah.













BAB III
PENUTUP

3.1. Kesimpulan
Sebuah sistem spekulatif tidak dapat kita vonis benar atau tidak benar, sah atau tidak sah, seperti dapat dilakukan terhadap penafsiran-penafsiran sejarah atau teori-teori ilmu alam. Metafisika adalah cabang filsafat yang menjawab pertanyaan mengenai hakikat atau esensi ( hal-hal dalam ) kenyataan. Ciri khas sebuah pernyataan metafisis adalah tidak dapat dipergoki bahwa kenyataan itu tidak benar, sekalipun sepintas kelihatan tidak masuk akal. Pemahaman mengenai pengetahuan ilmiah adalah pengetahuan yang saling berkaitan secara sistematis dan disusun secara rapi. Memiliki hukum yang bersifat umum, kebenarannya bersifat universal bukan kebenaran khusus. Pengetahuan ilmiah tidak dapat diberikan kepada spekulasi-spekulasi tentang sejarah.
Darwin memperlihatkan bagaimana kehidupan di bumi berevolusi. Teori Darwin bukanlah sebuah hukum evolusi melainkan suatu penafsiran tentang proses yang unik yang hanya sekali terjadi. Dalam sistem spekulatif mengatakan bahwa dalam proses historis nampaklah suatu trend menuju kemajuan artinya pengetahuan kita semakin banyak dan tata tertib sosial makin sempurna, karena adanya suatu tendensi tanpa menghiraukan ada tidaknya kondisi awal yang harus terpenuhi. Dapat dirumuskan hukum-hukum gerak atau hukum-hukum urutan yang menopang proses historis, sehingga berdasarkan hukum-hukum tersebut dapat diramalkan dengan jangkauan jauh.
Filsafat-filsafat spekulatif menunjukkan peristiwa-peristiwa mana yang pantas diteliti oleh seorang ahli sejarah, peristiwa-peristiwa mana mirip mengenai sifat dan kategorinya sehingga pantas dijadikan bagian dalam suatu cerita sejarah.Tema dan bahan penelitian setiap penelitian historis dan setiap cerita historis, ditentukan oleh filsafat sejarah spekulatif. Itulah pentingnya filsafat sejarah spekulatif bagi penulisan sejarah.





Daftar Pustaka
Ankersmit,F.R.1987.Refleksi Tentang Sejarah (Pendapat-Pendapat Modern tentang Filsafat Sejarah).Jakarta : PT Gramedia
(http://mumuhmz.wordpress.com/2011/09/21/filsafat-sejarah-pendahuluan/) diakses tanggal 1-4-2012

Tidak ada komentar:

Posting Komentar