3.1.
Pengertian Perikanan Ilegal
Perikanan
ilegal saat ini telah menjadi perhatian dunia, termasuk FAO (Food and
Agriculture Organization). Lembaga ini menggunakan beberapa terminologi seperti
perikanan illegal (ilegal), unreported (tidak dilaporkan) dan unregulated
(tidak diatur) atau biasa disingkat dengan IUU fishing. Penjelasan
mengenai ketiga terminologi ini adalah sebagai berikut:
- Illegal fishing, adalah kegiatan penangkapan ikan secara ilegal di perairan wilayah atau Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) suatu Negara. Artinya kegiatan penangkapan yang tidak memiliki izin melakukan penangkapan ikan dari Negara bersangkutan. Praktek terbesar dalam IUU fishing, pada dasarnya adalah poaching atau pirate fishing. Yaitu penangkapan ikan oleh negara lain tanpa izin dari negara yang bersangkutan, atau dengan kata lain pencurian ikan oleh pihak asing. Keterlibatan pihak asing dalam pencurian ikan dapat digolongkan menjadi dua, yaitu:
- Pencurian semi-legal, yaitu pencurian ikan yang dilakukan oleh kapal asing dengan memanfaatkan surat izin penangkapan legal yang dimiliki oleh pengusaha lokal, dengan menggunakan kapal berbendera lokal atau bendera negara lain. Praktek ini tetap dikategorikan sebagai illegal fishing karena selain menangkap ikan di wilayah perairan yang bukan haknya, pelaku illegal fishing ini tidak jarang juga langsung mengirim hasil tangkapan tanpa melalui proses pendaratan ikan di wilayah yang sah.
- Pencurian murni ilegal, yaitu proses penangkapan ikan di mana kapal asing menggunakan benderanya sendiri untuk menangkap ikan di wilayah negara lain.
- Unregulated fishing, adalah kegiatan penangkapan di perairan wilayah atau ZEE suatu Negara yang tidak mematuhi aturan yang berlaku dinegara tersebut. Tercakup dalam hal ini antara lain:
- Penggunaan alat tangkap yang merusak seperti trawl, bom, dan bius.
- Pelanggaran wilayah tangkap.
- Unreported fishing, adalah kegiatan penangkapan ikan di perairan wilayah atau ZEE suatu negara, yang tidak dilaporkan baik operasionalnya maupun data kapal dan hasil tangkapannya. Perikanan yang tidak dilaporkan mencakup:
- Kesalahan dalam pelaporannya (misreported).
- Pelaporan yang tidak semestinya (under reported).
3.2.
Situasi Perikanan Nasional
Publikasi
FAO tahun 2007 menggambarkan bahwa kondisi sumberdaya ikan di sekitar perairan
Indonesia, terutama di sekitar perairan Samudera Hindia dan Samudera Pasifik
sudah menujukan kondisi full exploited. Bahkan di perairan Samudera
Hindia kondisinya cenderung mengarah kepada overexploited. Artinya bahwa di
kedua perairan tersebut, sudah tidak memungkinkan lagi untuk dilakukan ekspansi
penangkapan ikan secara besar-besaran saat ini.
1. Produksi Perikanan Nasional
Pertumbuhan
produksi rata-rata perikanan tangkap dalam periode tahun 1994-2004 mencapai
3,84 persen per tahun. Sedangkan produksi perikanan tangkap pada tahun 2004
mencapai 4.311.564 ton. Apabila pemerintah menargetkan pertumbuhan produksi
perikanan tangkap tetap sebesar 3,84 persen per tahun,
maka
produksi perikanan tangkap nasional tahun 2009 akan mengalami full exploitation
diseluruh perairan Indonesia.
2. Konsumsi Ikan Nasional
Tingkat
konsumsi ikan masyarakat Indonesia setiap tahunnya terlihat mengalami
peningkatan. Secara nasional tingkat konsumsi ikan nasional pada tahun 2002
baru mencapai sekitar 21 kg/kapita/tahun. Namun demikian tingkat konsumsi ikan
nasional tersebut terlihat masih di atas rata-rata tingkat konsumsi ikan dunia
yang baru mencapai sekitar 16 kg/kapita/tahun. Sementara itu jika dilihat dari
perkembangan tingkat konsumsi ikan nasional berdasarkan jenis ikan yang
dikonsumsi masyarakat, terlihat bahwa sekitar 65,98 persen dari total konsumsi
ikan nasional tahun 2002 didominasi oleh 18 jenis ikan. Yaitu ekor kuning,
tuna, tenggiri, selar, kembung, teri, banding, gabus, kakap, mujair, mas, lele,
baronang, udang segar, cumi-cumi segar, kepiting, kalong dan udang olahan.
Dari
18 jenis ikan yang dominan tersebut terlihat bahwa ikan tuna, selar dan kembung
merupakan jenis ikan yang banyak dikonsumsi oleh masyarakat Indonesia. Data
Hasil Survey Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) menunjukan, bahwa rata-rata
tingkat konsumsi untuk ketiga jenis ikan tersebut pada periode 1996-2002 adalah
mencapai 3,08 kg/kapita/tahun (Ikan Tuna). Atau sekitar 14,65 persen dari total
tingkat konsumsi ikan nasional tahun 2002, 2,48 kg/kapita/tahun (Ikan Kembung).
Sekitar 11,81 persen dari total tingkat konsumsi ikan nasional tahun 2002 dan
1,05 kg/kapita/tahun (Ikan Selar) atau sekitar 4,98 persen dari total tingkat
konsumsi ikan nasional tahun 2002.
Kondisi
terkini, gerakan gemar makan ikan yang di kampanyekan oleh Departemen Kelautan
dan Perikanan (DKP) telah berkontribusi dalam meningkatkan angka konsumsi
perikanan perkapita, dari sekitar 17 kg/kapita/
tahun
di tahun 1998, menjadi sekitar 26 kg/kapita/tahun dalam kurun waktu 2-3 tahun
terakhir. Tentu saja, meningkatnya konsumsi perkapita akan berkorelasi positif
dengan pertumbuhan volume kebutuhan ikan domestik, sejalan dengan pertumbuhan
penduduk rata-rata nasional yang berkisar 1,34 persen per tahun-nya (Damanik,
2007b).
3.3.
Praktek Perikanan Ilegal
Sampai
saat ini, belum ada perhitungan pasti jumlah ikan yang terangkut dari perairan
Indonesia secara illegal setiap tahunnya. FAO (2001) memperkirakan kerugian
Indonesia dari perikanan ilegal tersebut mencapai sekitar US$ 4 milyar. Menteri
Kelautan dan Perikanan RI, Freddy Numbery, mengakui bahwa akibat aktivitas
perikanan ilegal, negara dirugikan Rp 30 triliyun setiap tahunnya. Perkembangan
harga ikan rata-rata setiap tahunnya berkisar antara US$ 1.000 sampai US$ 2.000
per ton ikan. Dengan asumsi harga ikan rata-rata sebesar US$
1.000
per ton, diperkirakan jumlah ikan yang dicuri mencapai sekitar 4 juta ton per
tahun. Sementara itu apabila harga ikan rata-rata diasumsikan sekitar US$
2.000
per ton maka jumlah ikan yang dicuri tersebut mencapai kisaran 2 juta ton per
tahun. Terlebih lagi, apabila diasumsikan rata-rata tonase kapal ilegal yang
menangkap
ikan di perairan Indonesia mencapai 200 ton dan setiap tahunnya melakukan 4
kali trip penangkapan, maka jumlah kapal ilegal mencapai sekitar 2.500 sampai
dengan 5.000 kapal per tahun. Hingga kini pemberantasan praktek perikanan
illegal belum juga menunjukkan tanda-tanda yang menggembirakan, bahkan semakin
memprihatinkan. Salah satu buktinya, Maret 2006 lalu hasil verifikasi
Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap DKP menunjukkan 94 persen tanda peralihan
kepemilikan kapal (deletion certificate) yang berhasil diklarifikasi
adalah palsu. Lebih buruk lagi, pada semester pertama 2007 (Januari – Juni),
puluhan kapal dari berbagai negara telah ditemukan kembali melakukan praktek
pencurian ikan di perairan Indonesia. Praktek perikanan ilegal di Indonesia
yang diungkap oleh media massa antara tahun 2002 hingga 2007, menunjukkan
semakin beragam dan semakin luas wilayah Indonesia yang “disantroni” oleh
kegiatan perikanan ilegal.
Perikanan
ilegal tersebut mencakup pencurian ikan, yaitu kapal asing menangkap ikan di
Indonesia dan tidak memiliki izin atau tidak memiliki dokumen keimigrasian
perikanan yang tidak diatur, karena melanggar peraturan
perundangan
yang telah ditetapkan seperti menggunakan alat tangkap trawl, bom, atau
memasuki wilayah tangkap yang tidak sesuai dengan izin yang telah diberikan;
serta perikanan yang tidak dilaporkan, karena memuat dan memindahkan ikan di
tengah laut atau menjual ikan dijual ke negara lain, atau kegiatan lain yang
menyebabkan tangkapan ikan tersebut tidak dilaporkan.
Jumlah
kegiatan perikanan ilegal begitu fantastis. Pada tahun 2003, DKP menduga
terdapat sekitar 5.000 kapal asing yang tidak memiliki izin beroperasi di
perairan Indonesia, yang kemudian berhasil ditertibkan hingga 4.000 kapal asing
melalui perizinan (Media Indonesia, 31 Desember 2003). Namun demikian,
kenyataan di lapangan menunjukkan perikanan ilegal terus terjadi dari
tahun
ke tahun.
Kapal
asing yang melakukan kegiatan perikanan ilegal biasanya melangsungkan
operasinya di wilayah perbatasan dan perairan internasional, antara lain:
1. Perairan Timur Indonesia,
seperti:
a)
Perairan Papua (Sorong, Teluk Bintuni, Fakfak, Kaimana, Merauke, Perairan
Arafuru)
b)
Laut Maluku, Laut Halmahera
c)
Perairan Tual
d)
Laut Sulawesi
e)
Samudra Pasifik
f)
Perairan Indonesia-Australia
g)
Perairan Kalimantan Timur
2. Perairan Barat Indonesia,
seperti:
a)
Perairan Kalimantan bagian Utara, daerah Laut Cina Selatan
b)
Perairan Nanggroe Aceh Darussalam (NAD)
c)
Selat Malaka
d)
Sumatera Utara (Perairan Pandan, Teluk Sibolga)
e)
Selat Karimata, Perairan Pulau Tambelan (Perairan antara Riau dan Kalimantan
Barat)
f)
Laut Natuna (Perairan Laut Tiongkok Selatan)
g)
Perairan Pulau Gosong Niger (Kalimantan Barat)
3.4. Modus Operandi
Perikanan ilegal dilakukan
dengan modus operandi tertentu. Biasanya terkait dengan upaya untuk mengelabui
petugas, waktu operasi dan lokasi penangkapan ilegal, serta keterlibatan dengan
oknum aparat. Tentunya, modus ini akan terus berkembang sejalan dengan
perkembangan teknologi dan respon negara terhadap kegiatan perikanan ilegal.
Kapal ilegal, terutama kapal
asing, menggunakan berbagai modus untuk mengelabui aparat keamanan atau aparat
pemerintah Indonesia. Modus yang sering dilakukan adalah penggandaan izin,
penggunaan bendera Indonesia, mempekerjakan nelayan Indonesia, atau penggunaan
nama kapal berbahasa Indonesia.
Modus penggandaan izin
penangkapan ikan dilakukan di berbagai perairan dan biasanya dilakukan oleh
kapal dari Thailand (Antara, tanpa tanggal). Modus penggandaan izin penangkapan
ikan kerap dilakukan di Perairan Arafura. Satu buah izin penangkapan digandakan
untuk 10 kapal. Perusahaan membuat atau memiliki 10 kapal dengan bentuk,
ukuran, sarana dan prasarana yang sama. Dengan demikian, satu buah izin kapal
yang dimiliki oleh perusahaan dapat digunakan untuk 10 kapal yang
dimilikinya—karena memiliki bentuk, ukuran, sarana dan prasarana yang sama
sehingga bisa mengelabui aparat yang melakukan operasi kapal ilegal.
Jika rata-rata setiap perusahaan
memiliki minimal 5 izin penangkapan ikan, berarti terdapat sekitar 50 kapal
yang melakukan operasi penangkapan ikan. Jika setiap bulan setiap kapal
menangkap rata-rata sekitar 2.100 ton, maka untuk 50 kapal mencapai 105.000
ton. Dengan asumsi harga ikan mencapai US$ 13 per kg, maka kerugian negara dari
hasil tangkapan ilegal dengan modus ini bisa mencapai US$ 1,365 milyar.
Modus lainnya adalah menggunakan
bendera Indonesia dan mempekerjakan nelayan dari Indonesia. Padahal kapal
tersebut dimiliki oleh cukong Malaysia dan ikan dijual di Tawau, Malaysia.
Modus yang serupa juga dilakukan dengan menggunakan bendera dan nama kapal
berbahasa Indonesia.
Untuk modus mengelabui dengan
menggunakan alat tangkap yang dilarang seperti bom ikan (blast fishing)
dilakukan dengan modus tersendiri. Kapal pembom ikan pergi menuju daerah
sasaran tanpa membawa peralatan bom ikan. Di tengah laut, peralatan pemboman
dikirim dengan kapal lain. Setelah itu kapal akan melakukan pemboman di daerah
dan waktu tertentu.
Kegiatan penangkapan oleh kapal
ilegal dilakukan pada waktu tertentu, terutama pada saat musim barat. Kapal
ilegal biasanya menggunakan kapal berbobot 30 GT yang mampu memecah gelombang
setinggi 2 meter. Sedangkan kapal patroli biasa akan mengalami kesulitan
mengejar kapal pencuri ikan di saat musim barat.
Seperti telah disebutkan di
atas, kapal asing yang illegal selalu beroperasi di wilayah perbatasan dan
perairan internasional, sehingga menyulitkan bagi aparat untuk menangkap kapal
tersebut. Namun ketika tertangkap oleh aparat, kapal ilegal tersebut berdalih
bahwa tidak sengaja melanggar batas teritori Indonesia untuk mengejar ikan
karena tidak memiliki radar dan hanya menggunakan kompas. Hal ini biasanya
menjadi dalih kapal negara-negara tetangga Indonesia, seperti Thailand yang
tertangkap oleh patrol.
Modus lain juga dilakukan
melalui kerjasama dengan beberapa kapal ikan ilegal. Di tengah laut, kapal
tersebar dengan jarak antara 5-7 mil, sehingga menyulitkan kepolisian untuk
menangkap. Kapal-kapal ilegal tersebut
melakukan transhipment di
tengah laut dan memiliki jaringan dengan kapal khusus pengumpul ikan, untuk
selanjutnya dibawa ke Thailand.
Kejahatan dalam pencurian ikan
sudah merupakan sindikat yang sangat kuat. Keterlibatan sejumlah oknum aparat
sangatlah kuat karena jutaan ton ikan setiap tahunnya dicuri dari perairan
Indonesia, yang dilakukan oleh sekitar 3.000-5.000 kapal nelayan asing dengan
memakai bendera Indonesia.
Perikanan ilegal di perairan
Sulawesi Utara misalnya, kerjasama antara oknum aparat, pengusaha ikan di
darat, dan operator kapal ikan di laut sangatlah sistematis (lihat Gambar-2.1).
Oknum aparat memberitahukan perusahaan di darat bahwa akan dilakukan operasi
kapal ilegal. Berdasarkan informasi ini, perusahaan di darat menginstruksikan
kapalnya yang sedang beroperasi di laut untuk berpindah agar menghindari
operasi aparat. Dengan demikian, kapal operasi tidak menemukan kapal ilegal,
dan jika ada yang tertangkap, bisa dikatakan sebagai suatu kebetulan belaka
3.5. Dampak Perikanan
Ilegal
Maraknya perikanan ilegal di
perairan Indonesia berdampak terhadap stok ikan nasional dan global. Hal ini
juga menyebabkan keterpurukan ekonomi nasional dan meningkatnya permasalahan
sosial di masyarakat perikanan Indonesia.
Sedikitnya terdapat sepuluh
masalah pokok dari aktivitas perikanan ilegal yang telah memberi dampak serius
bagi Indonesia.
Pertama, perikanan ilegal di perairan Indonesia akan
mengancam kelestarian stok ikan nasional bahkan dunia. Praktek perikanan yang
tidak dilaporkan atau laporannya salah (misreported), atau laporannya di
bawah standar (under reported), dan praktek perikanan yang tidak diatur
(unregulated) akan menimbulkan masalah akurasi data tentang stok ikan yang
tersedia. Jika data stok ikan tidak akurat, hampir dipastikan pengelolaan
perikanan tidak akan tepat dan akan mengancam kelestarian stok ikan nasional
dan global. Hal ini dapat dikategorikan melakukan praktek IUU fishing. Dengan
kata lain, jika pemerintah Indonesia tidak serius untuk mengantisipasi dan mereduksi
kegiatan IUU diperairan Indonesia, maka dengan sendirinya Indonesia “terkesan”
memfasilitasi kegiatan IUU, dan terbuka kemungkinan untuk mendapat sanksi
internasional.
Kedua, perikanan ilegal di
perairan Indonesia akan mengurangi kontribusi perikanan tangkap di wilayah ZEEI
atau laut lepas kepada ekonomi nasional (PDB). Disamping juga mendorong
hilangnya rente sumberdaya perikanan yang seharusnya dinikmati oleh Indonesia.
Pemerintah mengklaim bahwa kerugian dari praktek perikanan ilegal mencapai US$
4 milyar per tahun. Jika diasumsikan harga ikan ilegal berkisar antara US$
1.000-2.000 per ton maka setiap tahunnya Indonesia kehilangan sekitar 2-4 juta
ton ikan. Perhitungan lain menyebutkan, bahwa total kerugian negara akibat
perikanan ilegal mencapai US$ 1,924 miliar per tahun. Angka ini terdiri dari
pelanggaran daerah operasi sebesar US$ 537,75 juta; dokumen palsu US$ 142,5
juta kapal tanpa dokumen atau liar US$ 1,2 juta dan penggunaan ABK asing US$ 780 juta.
Ketiga, perikanan ilegal
mendorong ke arah penurunan tenaga kerja pada sektor perikanan nasional,
seperti usaha pengumpulan dan pengolahan ikan. Apabila hal ini tidak secepatnya
diselesaikan maka akan mengurangi peluang generasi muda nelayan untuk mengambil
bagian dalam usaha penangkapan ikan.
Keempat, perikanan ilegal akan
mengurangi peran tempat pendaratan ikan nasional (pelabuhan perikanan nasional)
dan penerimaan uang pandu pelabuhan. Karena kapal penangkapan ikan ilegal
umumnya tidak mendaratkan ikan hasil tangkapannya di pelabuhan perikanan nasional.
Hal ini akan berdampak secara nyata terhadap berkurangnya pendapatan nasional
dari sektor perikanan.
Kelima, perikanan ilegal akan
mengurangi pendapatan dari jasa dan pajak dari operasi yang sah. Perikanan
ilegal akan mengurangi sumberdaya perikanan, yang pada gilirannya akan
mengurangi pendapatan dari perusahaan yang memiliki izin penangkapan yang sah.
Keenam, baik secara langsung
maupun tidak langsung, multiplier effects dari perikanan ilegal memilikib
hubungan dengan penangkapan ikan nasional. Karena aktivitas penangkapan ikan
nasional akan otomotis berkurang sejalan dengan hilangnya potensi sumberdaya
ikan akibat aktivitas perikanan ilegal. Apabila potensi ikan yang dicuri dapat
dijala oleh armada perikanan nasional, maka sedikitnya dapat menjamin bahan
baku yang cukup bagi industri pengolahan hasil perikanan, misalnya pengalengan
tuna. Pada umumnya ikan yang dicuri dari perairan Indonesia adalah ikan tuna
dan ikan pelagis besar lainnya. Jika setiap industri pengalengan ikan tuna
memerlukan bahan baku minimal 80-100 ton per hari atau sekitar 28.000-36.000
ton per tahun, maka ikan yang dicuri tersebut sedikitnya dapat menghidupi 42
industri pengalengan ikan tuna nasional.
Ketujuh, perikanan ilegal akan
berdampak pada kerusakan ekosistem, akibat hilangnya nilai dari kawasan pantai,
misalnya udang yang dekat ke wilayah penangkapan ikan pantai dan dari area
bakau yang boleh jadi dirusak oleh perikanan ilegal. Selanjutnya akan berdampak
pada pengurangan pendapatan untuk masyarakat yang melakukan penangkapan ikan di
wilayah pantai.
Kedelapan, perikanan ilegal akan
meningkatkan konflik dengan armada nelayan tradisional. Maraknya perikanan
ilegal mengganggu keamanan nelayan Indonesia khususnya nelayan tradisional
dalam menangkap ikan di perairan Indonesia. Nelayan asing selain melakukan
penangkapan secara ilegal, mereka juga sering menembaki nelayan tradisional
yang sedang melakukan penangkapan ikan di daerah penangkapan (fishing ground)
yang sama. Selain itu perikanan illegal juga akan mendorong ke arah pengurangan
pendapatan rumah tangga nelayan dan selanjutnya akan memperburuk situasi
kemiskinan.
Kesembilan, perikanan ilegal
berdampak negatif pada stok ikan dan ketersediaan ikan, yang merupakan sumber
protein penting bagi Indonesia. Pengurangan ketersediaan ikan pada pasar lokal
akan mengurangi ketersediaan protein dan keamanan makanan nasional. Hal ini
akan meningkatkan risiko kekurangan gizi dalam masyarakat, dan berdampak pada
rencana pemerintah untuk meningkatkan nilai konsumsi ikan.
Kesepuluh, perikanan ilegal akan
berdampak negative pada isu kesetaraan gender dalam penangkapan ikan dan
pengolahan serta pemasaran hasil penangkapan ikan. Fakta di beberapa daerah
menunjukkan bahwa istri nelayan memiliki peranan penting dalam aktivitasb
penangkapan ikan di pantai dan pengolahan hasil tangkapan, termasuk untuk
urusan pemasaran hasil perikanan.
BAB IV
KEBIJAKAN-KEBIJAKAN
DAN PENANGANAN ILLEGAL FISHING
4.1. Inisiatif Dunia
Melawan IUU Fishing
Sejak tahun 1992 masyarakat
internasional telah mempromosikan tindakan dan prakarsa untuk melakukan
pengelolaan sumber daya perikanan yang bisa menopang kebutuhan jangka panjang.
Pada tahun 1982 dalam International Conference on Responsible Fishing yang
diadakan di Cancun, Meksiko, melahirkan Deklarasi Cancun yang menyerukan FAO
untuk mengembangkan suatu Tata Laksana Perikanan Bertanggung Jawab (Code of
Conduct for Responsible Fisheries), yang kemudian direkomendasikan oleh FAO
pada tahun 1995. Konferensi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) tentang Hukum Laut
yang Ketiga telah berhasil mewujudkan United Nations Convention on the Law of
the Sea (Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut) yang telah
ditandatangani oleh 117 negara peserta termasuk Indonesia di Montego Bay,
Jamaika pada tanggal 10 Desember 1982. Saat ini Komite Perikanan FAO telah
menyepakati Rencana aksi internasional bagi perikanan IUU atau International
Plan of Action on Illegal, Unreported and Unregulated (IUU) fishing yang
mengatur mengenai praktek ilegal seperti pencurian ikan, praktek perikanan yang
tidak dilaporkan atau laporannya salah (misreported), atau
laporannya dibawah standar
(under-reported), dan praktek perikanan yang tidak diatur sehingga mengancam
kelestarian stok ikan global. Negara-negara lain sudah menindak tegas praktek perikanan
ilegal di wilayah negaranya, misalnya Australia, Kanada, Fiji, Selandia Baru,
dan Amerika Serikat. Perbandingan hukuman terhadap praktek perikanan ilegal di
beberapa negara dapat dilihat pada Tabel-4.1.
4.2. Kebijakan
Penanganan Perikanan Ilegal di Indonesia
Kondisi perikanan Indonesia
semakin diperparah dengan belum optimalnya pemerintah dalam menindak praktek
perikanan ilegal. Pemberantasan kegiatan perikanan ilegal, baik yang terkait
dengan pelanggaran administratif, pelanggaran jalur penangkapan hingga
penggunaan alat tangkap merusak belum juga menunjukkan tanda-tanda yang
menggembirakan. Padahal produk hukum penanganan perikanan illegal telah ada
sejak tahun 1983 (lihat Tabel-4.2). UU No. 5 tahun 1983 tentang ZEEI mengatur
penangkapan ikan oleh asing diperairan ZEEI dan kewenangan aparatur penegak
hukum.
DAFTAR PUSTAKA
Dendasurono,
2002, Pendidikan Lingkungan Kelautan. Rineka Cipta, Jakarta.
Fauzi,
Akhmad, 2005, Kebijakan Perikanan dan Kelautan. Gramedia, Jakarta.
Subri,
Mulyadi, 2004, Ekonomi Kelautan. Rajagrafindo Persada, Yogyakarta.
Undang-Undang
Nomor 4 Tahun 1960 Tentang Titik Dasar dan Garis Pangkal, Jakarta.
Undang-Undang
Nomor 6 Tahun 1996 Tentang Pembaharuan Titik Dasar dan Garis Pangkal.
Jakarta.
Undang-Undang
Nornor 5 Tahun 1983 Tentang Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE), Deplu,
Jakarta.
Undang-Undang
Nomor 17 Tahun 1985 Tentang Ratiflikasi Konvensi Hukum Laut 1982, Deplu,
Jakarta.
WALHI,
2007, Laporan Hasil Survey Identifikasi Illegal Fishing di Perairan Sulawesi
Utara, April 2007.
www.stopiuufishing.com
www.indonesia.go.id
www.pk-sejahtera.org
www.kiara.or.id
Tidak ada komentar:
Posting Komentar