Minggu, 08 April 2018

Illegal Fishing



3.1. Pengertian Perikanan Ilegal
Perikanan ilegal saat ini telah menjadi perhatian dunia, termasuk FAO (Food and Agriculture Organization). Lembaga ini menggunakan beberapa terminologi seperti perikanan illegal (ilegal), unreported (tidak dilaporkan) dan unregulated  (tidak diatur)  atau biasa disingkat dengan  IUU fishing. Penjelasan mengenai ketiga terminologi ini adalah sebagai berikut:
  1. Illegal fishing, adalah kegiatan penangkapan ikan secara ilegal di perairan wilayah atau Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) suatu Negara. Artinya kegiatan penangkapan yang tidak memiliki izin melakukan penangkapan ikan dari Negara bersangkutan. Praktek terbesar dalam  IUU fishing, pada dasarnya adalah poaching atau pirate fishing. Yaitu penangkapan ikan oleh negara lain tanpa izin dari negara yang bersangkutan, atau dengan kata lain pencurian ikan oleh pihak asing. Keterlibatan pihak asing dalam pencurian ikan dapat digolongkan menjadi dua, yaitu:
  • Pencurian semi-legal, yaitu pencurian ikan yang dilakukan oleh kapal asing dengan memanfaatkan surat izin penangkapan legal yang dimiliki oleh pengusaha lokal, dengan menggunakan kapal berbendera lokal atau bendera negara lain. Praktek ini tetap dikategorikan sebagai  illegal fishing karena selain menangkap ikan di wilayah perairan yang bukan haknya, pelaku illegal fishing ini tidak jarang juga langsung mengirim hasil tangkapan tanpa melalui proses pendaratan ikan di wilayah yang sah.
  • Pencurian murni ilegal, yaitu proses penangkapan ikan di mana kapal asing menggunakan benderanya sendiri untuk menangkap ikan di wilayah negara lain.
  1. Unregulated fishing,  adalah kegiatan penangkapan di perairan wilayah atau ZEE suatu Negara yang tidak mematuhi aturan yang berlaku dinegara tersebut. Tercakup dalam hal ini antara lain:
  • Penggunaan alat tangkap yang merusak seperti trawl, bom, dan bius.
  • Pelanggaran wilayah tangkap.
  1. Unreported fishing, adalah kegiatan penangkapan ikan di perairan wilayah atau ZEE suatu negara, yang tidak dilaporkan baik operasionalnya maupun data kapal dan hasil tangkapannya. Perikanan yang tidak dilaporkan mencakup:
  • Kesalahan dalam pelaporannya (misreported).
  • Pelaporan yang tidak semestinya (under reported).

3.2. Situasi Perikanan Nasional
Publikasi FAO tahun 2007 menggambarkan bahwa kondisi sumberdaya ikan di sekitar perairan Indonesia, terutama di sekitar perairan Samudera Hindia dan Samudera Pasifik sudah menujukan kondisi  full exploited. Bahkan di perairan Samudera Hindia kondisinya cenderung mengarah kepada overexploited. Artinya bahwa di kedua perairan tersebut, sudah tidak memungkinkan lagi untuk dilakukan ekspansi penangkapan ikan secara besar-besaran saat ini.

1. Produksi Perikanan Nasional
Pertumbuhan produksi rata-rata perikanan tangkap dalam periode tahun 1994-2004 mencapai 3,84 persen per tahun. Sedangkan produksi perikanan tangkap pada tahun 2004 mencapai 4.311.564 ton. Apabila pemerintah menargetkan pertumbuhan produksi perikanan tangkap tetap sebesar 3,84 persen per tahun,
maka produksi perikanan tangkap nasional tahun 2009 akan mengalami full exploitation diseluruh perairan Indonesia.



2. Konsumsi Ikan Nasional
Tingkat konsumsi ikan masyarakat Indonesia setiap tahunnya terlihat mengalami peningkatan. Secara nasional tingkat konsumsi ikan nasional pada tahun 2002 baru mencapai sekitar 21 kg/kapita/tahun. Namun demikian tingkat konsumsi ikan nasional tersebut terlihat masih di atas rata-rata tingkat konsumsi ikan dunia yang baru mencapai sekitar 16 kg/kapita/tahun. Sementara itu jika dilihat dari perkembangan tingkat konsumsi ikan nasional berdasarkan jenis ikan yang dikonsumsi masyarakat, terlihat bahwa sekitar 65,98 persen dari total konsumsi ikan nasional tahun 2002 didominasi oleh 18 jenis ikan. Yaitu ekor kuning, tuna, tenggiri, selar, kembung, teri, banding, gabus, kakap, mujair, mas, lele, baronang, udang segar, cumi-cumi segar, kepiting, kalong dan udang olahan.
Dari 18 jenis ikan yang dominan tersebut terlihat bahwa ikan tuna, selar dan kembung merupakan jenis ikan yang banyak dikonsumsi oleh masyarakat Indonesia. Data Hasil Survey Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) menunjukan, bahwa rata-rata tingkat konsumsi untuk ketiga jenis ikan tersebut pada periode 1996-2002 adalah mencapai 3,08 kg/kapita/tahun (Ikan Tuna). Atau sekitar 14,65 persen dari total tingkat konsumsi ikan nasional tahun 2002, 2,48 kg/kapita/tahun (Ikan Kembung). Sekitar 11,81 persen dari total tingkat konsumsi ikan nasional tahun 2002 dan 1,05 kg/kapita/tahun (Ikan Selar) atau sekitar 4,98 persen dari total tingkat konsumsi ikan nasional tahun 2002.
Kondisi terkini, gerakan gemar makan ikan yang di kampanyekan oleh Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP) telah berkontribusi dalam meningkatkan angka konsumsi perikanan perkapita, dari sekitar 17 kg/kapita/
tahun di tahun 1998, menjadi sekitar 26 kg/kapita/tahun dalam kurun waktu 2-3 tahun terakhir. Tentu saja, meningkatnya konsumsi perkapita akan berkorelasi positif dengan pertumbuhan volume kebutuhan ikan domestik, sejalan dengan pertumbuhan penduduk rata-rata nasional yang berkisar 1,34 persen per tahun-nya (Damanik, 2007b).

3.3. Praktek Perikanan Ilegal
Sampai saat ini, belum ada perhitungan pasti jumlah ikan yang terangkut dari perairan Indonesia secara illegal setiap tahunnya. FAO (2001) memperkirakan kerugian Indonesia dari perikanan ilegal tersebut mencapai sekitar US$ 4 milyar. Menteri Kelautan dan Perikanan RI, Freddy Numbery, mengakui bahwa akibat aktivitas perikanan ilegal, negara dirugikan Rp 30 triliyun setiap tahunnya. Perkembangan harga ikan rata-rata setiap tahunnya berkisar antara US$ 1.000 sampai US$ 2.000 per ton ikan. Dengan asumsi harga ikan rata-rata sebesar US$
1.000 per ton, diperkirakan jumlah ikan yang dicuri mencapai sekitar 4 juta ton per tahun. Sementara itu apabila harga ikan rata-rata diasumsikan sekitar US$
2.000 per ton maka jumlah ikan yang dicuri tersebut mencapai kisaran 2 juta ton per tahun. Terlebih lagi, apabila diasumsikan rata-rata tonase kapal ilegal yang
menangkap ikan di perairan Indonesia mencapai 200 ton dan setiap tahunnya melakukan 4 kali trip penangkapan, maka jumlah kapal ilegal mencapai sekitar 2.500 sampai dengan 5.000 kapal per tahun. Hingga kini pemberantasan praktek perikanan illegal belum juga menunjukkan tanda-tanda yang menggembirakan, bahkan semakin memprihatinkan. Salah satu buktinya, Maret 2006 lalu hasil verifikasi Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap DKP menunjukkan 94 persen tanda peralihan kepemilikan kapal (deletion certificate)  yang berhasil diklarifikasi adalah palsu. Lebih buruk lagi, pada semester pertama 2007 (Januari – Juni), puluhan kapal dari berbagai negara telah ditemukan kembali melakukan praktek pencurian ikan di perairan Indonesia. Praktek perikanan ilegal di Indonesia yang diungkap oleh media massa antara tahun 2002 hingga 2007, menunjukkan semakin beragam dan semakin luas wilayah Indonesia yang “disantroni” oleh kegiatan perikanan ilegal.
Perikanan ilegal tersebut mencakup pencurian ikan, yaitu kapal asing menangkap ikan di Indonesia dan tidak memiliki izin atau tidak memiliki dokumen keimigrasian perikanan yang tidak diatur, karena melanggar peraturan
perundangan yang telah ditetapkan seperti menggunakan alat tangkap trawl, bom, atau memasuki wilayah tangkap yang tidak sesuai dengan izin yang telah diberikan; serta perikanan yang tidak dilaporkan, karena memuat dan memindahkan ikan di tengah laut atau menjual ikan dijual ke negara lain, atau kegiatan lain yang menyebabkan tangkapan ikan tersebut tidak dilaporkan.
Jumlah kegiatan perikanan ilegal begitu fantastis. Pada tahun 2003, DKP menduga terdapat sekitar 5.000 kapal asing yang tidak memiliki izin beroperasi di perairan Indonesia, yang kemudian berhasil ditertibkan hingga 4.000 kapal asing melalui perizinan (Media Indonesia, 31 Desember 2003). Namun demikian, kenyataan di lapangan menunjukkan perikanan ilegal terus terjadi dari
tahun ke tahun.

Kapal asing yang melakukan kegiatan perikanan ilegal biasanya melangsungkan operasinya di wilayah perbatasan dan perairan internasional, antara lain:

1. Perairan Timur Indonesia, seperti:
a)      Perairan Papua (Sorong, Teluk Bintuni, Fakfak, Kaimana, Merauke, Perairan Arafuru)
b)      Laut Maluku, Laut Halmahera
c)      Perairan Tual
d)     Laut Sulawesi
e)      Samudra Pasifik
f)       Perairan Indonesia-Australia
g)      Perairan Kalimantan Timur

2. Perairan Barat Indonesia, seperti:
a)         Perairan Kalimantan bagian Utara, daerah Laut Cina Selatan
b)        Perairan Nanggroe Aceh Darussalam (NAD)
c)         Selat Malaka
d)        Sumatera Utara (Perairan Pandan, Teluk Sibolga)
e)         Selat Karimata, Perairan Pulau Tambelan (Perairan antara Riau dan Kalimantan Barat)
f)         Laut Natuna (Perairan Laut Tiongkok Selatan)
g)        Perairan Pulau Gosong Niger (Kalimantan Barat)


3.4. Modus Operandi

Perikanan ilegal dilakukan dengan modus operandi tertentu. Biasanya terkait dengan upaya untuk mengelabui petugas, waktu operasi dan lokasi penangkapan ilegal, serta keterlibatan dengan oknum aparat. Tentunya, modus ini akan terus berkembang sejalan dengan perkembangan teknologi dan respon negara terhadap kegiatan perikanan ilegal.

1. Modus Untuk Mengelabui
Kapal ilegal, terutama kapal asing, menggunakan berbagai modus untuk mengelabui aparat keamanan atau aparat pemerintah Indonesia. Modus yang sering dilakukan adalah penggandaan izin, penggunaan bendera Indonesia, mempekerjakan nelayan Indonesia, atau penggunaan nama kapal berbahasa Indonesia.
Modus penggandaan izin penangkapan ikan dilakukan di berbagai perairan dan biasanya dilakukan oleh kapal dari Thailand (Antara, tanpa tanggal). Modus penggandaan izin penangkapan ikan kerap dilakukan di Perairan Arafura. Satu buah izin penangkapan digandakan untuk 10 kapal. Perusahaan membuat atau memiliki 10 kapal dengan bentuk, ukuran, sarana dan prasarana yang sama. Dengan demikian, satu buah izin kapal yang dimiliki oleh perusahaan dapat digunakan untuk 10 kapal yang dimilikinya—karena memiliki bentuk, ukuran, sarana dan prasarana yang sama sehingga bisa mengelabui aparat yang melakukan operasi kapal ilegal.
Jika rata-rata setiap perusahaan memiliki minimal 5 izin penangkapan ikan, berarti terdapat sekitar 50 kapal yang melakukan operasi penangkapan ikan. Jika setiap bulan setiap kapal menangkap rata-rata sekitar 2.100 ton, maka untuk 50 kapal mencapai 105.000 ton. Dengan asumsi harga ikan mencapai US$ 13 per kg, maka kerugian negara dari hasil tangkapan ilegal dengan modus ini bisa mencapai US$ 1,365 milyar.
Modus lainnya adalah menggunakan bendera Indonesia dan mempekerjakan nelayan dari Indonesia. Padahal kapal tersebut dimiliki oleh cukong Malaysia dan ikan dijual di Tawau, Malaysia. Modus yang serupa juga dilakukan dengan menggunakan bendera dan nama kapal berbahasa Indonesia.
Untuk modus mengelabui dengan menggunakan alat tangkap yang dilarang seperti bom ikan (blast fishing) dilakukan dengan modus tersendiri. Kapal pembom ikan pergi menuju daerah sasaran tanpa membawa peralatan bom ikan. Di tengah laut, peralatan pemboman dikirim dengan kapal lain. Setelah itu kapal akan melakukan pemboman di daerah dan waktu tertentu.

2. Waktu Tertentu
Kegiatan penangkapan oleh kapal ilegal dilakukan pada waktu tertentu, terutama pada saat musim barat. Kapal ilegal biasanya menggunakan kapal berbobot 30 GT yang mampu memecah gelombang setinggi 2 meter. Sedangkan kapal patroli biasa akan mengalami kesulitan mengejar kapal pencuri ikan di saat musim barat.

3. Penyebaran Lokasi
Seperti telah disebutkan di atas, kapal asing yang illegal selalu beroperasi di wilayah perbatasan dan perairan internasional, sehingga menyulitkan bagi aparat untuk menangkap kapal tersebut. Namun ketika tertangkap oleh aparat, kapal ilegal tersebut berdalih bahwa tidak sengaja melanggar batas teritori Indonesia untuk mengejar ikan karena tidak memiliki radar dan hanya menggunakan kompas. Hal ini biasanya menjadi dalih kapal negara-negara tetangga Indonesia, seperti Thailand yang tertangkap oleh patrol.
Modus lain juga dilakukan melalui kerjasama dengan beberapa kapal ikan ilegal. Di tengah laut, kapal tersebar dengan jarak antara 5-7 mil, sehingga menyulitkan kepolisian untuk menangkap. Kapal-kapal ilegal tersebut
melakukan  transhipment di tengah laut dan memiliki jaringan dengan kapal khusus pengumpul ikan, untuk selanjutnya dibawa ke Thailand.

4. Kerjasama dengan Aparat
Kejahatan dalam pencurian ikan sudah merupakan sindikat yang sangat kuat. Keterlibatan sejumlah oknum aparat sangatlah kuat karena jutaan ton ikan setiap tahunnya dicuri dari perairan Indonesia, yang dilakukan oleh sekitar 3.000-5.000 kapal nelayan asing dengan memakai bendera Indonesia.
Perikanan ilegal di perairan Sulawesi Utara misalnya, kerjasama antara oknum aparat, pengusaha ikan di darat, dan operator kapal ikan di laut sangatlah sistematis (lihat Gambar-2.1). Oknum aparat memberitahukan perusahaan di darat bahwa akan dilakukan operasi kapal ilegal. Berdasarkan informasi ini, perusahaan di darat menginstruksikan kapalnya yang sedang beroperasi di laut untuk berpindah agar menghindari operasi aparat. Dengan demikian, kapal operasi tidak menemukan kapal ilegal, dan jika ada yang tertangkap, bisa dikatakan sebagai suatu kebetulan belaka

3.5. Dampak Perikanan Ilegal
Maraknya perikanan ilegal di perairan Indonesia berdampak terhadap stok ikan nasional dan global. Hal ini juga menyebabkan keterpurukan ekonomi nasional dan meningkatnya permasalahan sosial di masyarakat perikanan Indonesia.
Sedikitnya terdapat sepuluh masalah pokok dari aktivitas perikanan ilegal yang telah memberi dampak serius bagi Indonesia.  
 Pertama, perikanan ilegal di perairan Indonesia akan mengancam kelestarian stok ikan nasional bahkan dunia. Praktek perikanan yang tidak dilaporkan atau laporannya salah  (misreported), atau laporannya di bawah standar (under reported), dan praktek perikanan yang tidak diatur (unregulated) akan menimbulkan masalah akurasi data tentang stok ikan yang tersedia. Jika data stok ikan tidak akurat, hampir dipastikan pengelolaan perikanan tidak akan tepat dan akan mengancam kelestarian stok ikan nasional dan global. Hal ini dapat dikategorikan melakukan praktek IUU fishing. Dengan kata lain, jika pemerintah Indonesia tidak serius untuk mengantisipasi dan mereduksi kegiatan IUU diperairan Indonesia, maka dengan sendirinya Indonesia “terkesan” memfasilitasi kegiatan IUU, dan terbuka kemungkinan untuk mendapat sanksi internasional.
Kedua, perikanan ilegal di perairan Indonesia akan mengurangi kontribusi perikanan tangkap di wilayah ZEEI atau laut lepas kepada ekonomi nasional (PDB). Disamping juga mendorong hilangnya rente sumberdaya perikanan yang seharusnya dinikmati oleh Indonesia. Pemerintah mengklaim bahwa kerugian dari praktek perikanan ilegal mencapai US$ 4 milyar per tahun. Jika diasumsikan harga ikan ilegal berkisar antara US$ 1.000-2.000 per ton maka setiap tahunnya Indonesia kehilangan sekitar 2-4 juta ton ikan. Perhitungan lain menyebutkan, bahwa total kerugian negara akibat perikanan ilegal mencapai US$ 1,924 miliar per tahun. Angka ini terdiri dari pelanggaran daerah operasi sebesar US$ 537,75 juta; dokumen palsu US$ 142,5 juta kapal tanpa dokumen atau liar US$ 1,2 juta dan penggunaan ABK asing US$ 780 juta.
Ketiga, perikanan ilegal mendorong ke arah penurunan tenaga kerja pada sektor perikanan nasional, seperti usaha pengumpulan dan pengolahan ikan. Apabila hal ini tidak secepatnya diselesaikan maka akan mengurangi peluang generasi muda nelayan untuk mengambil bagian dalam usaha penangkapan ikan.
Keempat, perikanan ilegal akan mengurangi peran tempat pendaratan ikan nasional (pelabuhan perikanan nasional) dan penerimaan uang pandu pelabuhan. Karena kapal penangkapan ikan ilegal umumnya tidak mendaratkan ikan hasil tangkapannya di pelabuhan perikanan nasional. Hal ini akan berdampak secara nyata terhadap berkurangnya pendapatan nasional dari sektor perikanan.
Kelima, perikanan ilegal akan mengurangi pendapatan dari jasa dan pajak dari operasi yang sah. Perikanan ilegal akan mengurangi sumberdaya perikanan, yang pada gilirannya akan mengurangi pendapatan dari perusahaan yang memiliki izin penangkapan yang sah.
Keenam, baik secara langsung maupun tidak langsung, multiplier effects dari perikanan ilegal memilikib hubungan dengan penangkapan ikan nasional. Karena aktivitas penangkapan ikan nasional akan otomotis berkurang sejalan dengan hilangnya potensi sumberdaya ikan akibat aktivitas perikanan ilegal. Apabila potensi ikan yang dicuri dapat dijala oleh armada perikanan nasional, maka sedikitnya dapat menjamin bahan baku yang cukup bagi industri pengolahan hasil perikanan, misalnya pengalengan tuna. Pada umumnya ikan yang dicuri dari perairan Indonesia adalah ikan tuna dan ikan pelagis besar lainnya. Jika setiap industri pengalengan ikan tuna memerlukan bahan baku minimal 80-100 ton per hari atau sekitar 28.000-36.000 ton per tahun, maka ikan yang dicuri tersebut sedikitnya dapat menghidupi 42 industri pengalengan ikan tuna nasional.
Ketujuh, perikanan ilegal akan berdampak pada kerusakan ekosistem, akibat hilangnya nilai dari kawasan pantai, misalnya udang yang dekat ke wilayah penangkapan ikan pantai dan dari area bakau yang boleh jadi dirusak oleh perikanan ilegal. Selanjutnya akan berdampak pada pengurangan pendapatan untuk masyarakat yang melakukan penangkapan ikan di wilayah pantai.
Kedelapan, perikanan ilegal akan meningkatkan konflik dengan armada nelayan tradisional. Maraknya perikanan ilegal mengganggu keamanan nelayan Indonesia khususnya nelayan tradisional dalam menangkap ikan di perairan Indonesia. Nelayan asing selain melakukan penangkapan secara ilegal, mereka juga sering menembaki nelayan tradisional yang sedang melakukan penangkapan ikan di daerah penangkapan (fishing ground) yang sama. Selain itu perikanan illegal juga akan mendorong ke arah pengurangan pendapatan rumah tangga nelayan dan selanjutnya akan memperburuk situasi kemiskinan.
Kesembilan, perikanan ilegal berdampak negatif pada stok ikan dan ketersediaan ikan, yang merupakan sumber protein penting bagi Indonesia. Pengurangan ketersediaan ikan pada pasar lokal akan mengurangi ketersediaan protein dan keamanan makanan nasional. Hal ini akan meningkatkan risiko kekurangan gizi dalam masyarakat, dan berdampak pada rencana pemerintah untuk meningkatkan nilai konsumsi ikan.
Kesepuluh, perikanan ilegal akan berdampak negative pada isu kesetaraan gender dalam penangkapan ikan dan pengolahan serta pemasaran hasil penangkapan ikan. Fakta di beberapa daerah menunjukkan bahwa istri nelayan memiliki peranan penting dalam aktivitasb penangkapan ikan di pantai dan pengolahan hasil tangkapan, termasuk untuk urusan pemasaran hasil perikanan.
BAB IV
KEBIJAKAN-KEBIJAKAN DAN PENANGANAN ILLEGAL FISHING
4.1. Inisiatif Dunia Melawan IUU Fishing
Sejak tahun 1992 masyarakat internasional telah mempromosikan tindakan dan prakarsa untuk melakukan pengelolaan sumber daya perikanan yang bisa menopang kebutuhan jangka panjang. Pada tahun 1982 dalam International Conference on Responsible Fishing yang diadakan di Cancun, Meksiko, melahirkan Deklarasi Cancun yang menyerukan FAO untuk mengembangkan suatu Tata Laksana Perikanan Bertanggung Jawab (Code of Conduct for Responsible Fisheries), yang kemudian direkomendasikan oleh FAO pada tahun 1995. Konferensi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) tentang Hukum Laut yang Ketiga telah berhasil mewujudkan United Nations Convention on the Law of the Sea (Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut) yang telah ditandatangani oleh 117 negara peserta termasuk Indonesia di Montego Bay, Jamaika pada tanggal 10 Desember 1982. Saat ini Komite Perikanan FAO telah menyepakati Rencana aksi internasional bagi perikanan IUU atau International Plan of Action on Illegal, Unreported and Unregulated (IUU) fishing yang mengatur mengenai praktek ilegal seperti pencurian ikan, praktek perikanan yang tidak dilaporkan atau laporannya salah   (misreported), atau laporannya dibawah standar        (under-reported), dan praktek perikanan yang tidak diatur sehingga mengancam kelestarian stok ikan global. Negara-negara lain sudah menindak tegas praktek perikanan ilegal di wilayah negaranya, misalnya Australia, Kanada, Fiji, Selandia Baru, dan Amerika Serikat. Perbandingan hukuman terhadap praktek perikanan ilegal di beberapa negara dapat dilihat pada Tabel-4.1.

4.2. Kebijakan Penanganan Perikanan Ilegal di Indonesia
Kondisi perikanan Indonesia semakin diperparah dengan belum optimalnya pemerintah dalam menindak praktek perikanan ilegal. Pemberantasan kegiatan perikanan ilegal, baik yang terkait dengan pelanggaran administratif, pelanggaran jalur penangkapan hingga penggunaan alat tangkap merusak belum juga menunjukkan tanda-tanda yang menggembirakan. Padahal produk hukum penanganan perikanan illegal telah ada sejak tahun 1983 (lihat Tabel-4.2). UU No. 5 tahun 1983 tentang ZEEI mengatur penangkapan ikan oleh asing diperairan ZEEI dan kewenangan aparatur penegak hukum.



DAFTAR PUSTAKA

Dendasurono, 2002, Pendidikan Lingkungan Kelautan. Rineka Cipta, Jakarta.
Fauzi, Akhmad, 2005, Kebijakan Perikanan dan Kelautan. Gramedia, Jakarta.
Subri, Mulyadi, 2004, Ekonomi Kelautan. Rajagrafindo Persada, Yogyakarta.
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1960 Tentang Titik Dasar dan Garis Pangkal, Jakarta.
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1996 Tentang Pembaharuan Titik Dasar dan Garis Pangkal. Jakarta.
Undang-Undang Nornor 5 Tahun 1983 Tentang Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE), Deplu, Jakarta.
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1985 Tentang Ratiflikasi Konvensi Hukum Laut 1982, Deplu, Jakarta.
WALHI, 2007, Laporan Hasil Survey Identifikasi Illegal Fishing di Perairan Sulawesi Utara, April 2007.



www.stopiuufishing.com
www.indonesia.go.id
www.pk-sejahtera.org
www.kiara.or.id
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar